Senin, 11 Oktober 2010

Tiga Setengah Menit

Oleh: Sonny Wibisono *

"Anakmu bukan anakmu."
-- Khalil Gibran dalam 'Sang Nabi'

Di satu ruko di pinggir Jakarta, seorang gadis tengah asyik menggesek biola. Tangan dan jari-jarinya belumlah sempurna memencet senar biolanya. Pantat biola sering jatuh dari pundaknya yang kecil. Maklum, usianya masih belum jauh berangkat dari angka lima. Namun dia senang tiada kepalang.

Sang ibunda mengambil kamera berponsel. Bunyi ngak-ngik-ngok menggempur telinga. Agak tidak beraturan nadanya. Namun si ibu senang dengan aksi anaknya di tempat kursus musik itu. Dia merekam aksi anak sulungnya selama tiga menit lewat sedikit. Yah, hampir tiga setengah menitlah. "Ayah pasti senang," katanya dengan tersenyum. Bangga sekali.

Nun jauh di timur Pulau Jawa. Ratusan kilometer dari Ibu Kota. Video berdurasi tiga setengah menit juga dibuat seseorang dan diunggah ke situs youtube.com. Isinya, sama-sama bocah. Tapi dia bukan bocah manis. Mulutnya disumpal sebatang rokok yang terus menyala dan omongannya itu lho, ampun, kasar dan vulgar.

Entah apa yang ada di benak si perekam dan mengunggahnya di situs video youtube.com. Jelas dia tidak sedang ingin bercanda dengan hasil rekaman video singkat itu. Namun, mungkin juga ia tidak pernah berpikir gambar hasil rekamannya itu dimaksudkan untuk memotret kelamnya sebuah negeri. 3,29 menit berlalu, negeri ini pun geger.

Berbagai berita mengabarkan tentang anak ini. Dia hidup bersama ibunya yang depresi dan tumbuh di lingkungan yang tidak bagus untuk pertumbuhannya. Kabarnya, Komnas Perlindungan Anak mendapatkan laporan sekitar 10 kasus serupa. Tapi itu mungkin yang ketahuan. Yang tidak dilaporkan?

Bisa jadi lebih. Lihatlah ke jalan-jalan. Saat berhenti di lampu merah, anak-anak yang baru berusia tiga hingga lima tahun sudah berada di sana dengan menengadah tangan, mengetuk-ngetuk jendela mobil. Sungguh pemandangan yang mengibakan.

Bocah-bocah ini tidak punya kesempatan belajar menggesek biola. Jangankan itu, untuk makan saja mereka terpaksa atau mungkin dipaksa untuk turun ke jalan. Ingus mereka belumlah kering, tapi mereka sudah memikirkan bagaimana caranya mendapatkan uang.

Anak-anak adalah masa depan bangsa ini. Merekalah penerus negeri ini. Mereka yang kurang beruntung sejatinya menjadi urusan negara. Karena undang-undang memang mengamanahkan demikian. Namun kita semua tahu, negara ini terlalu banyak urusan yang harus ditangani.

Kita tentu bersyukur banyak orang-orang yang peduli dengan nasib buruk yang menimpa anak-anak itu. Sedikit uluran tangan pasti membantu anak-anak yang malang ini terhindar dari masalah besar. Anda pun dapat membantu mereka. Sesuai kemampuan Anda.

Tapi, bila kita tidak mampu melakukan itu, cukuplah menjaga anak-anak kita sendiri. Keluarga kita sendiri. Menghentikan semua urusan pekerjaan saat akhir pekan datang. Lalu membenamkan atau bahkan menjadi seperti diri mereka akan sangat menghilangkan kepenatan selama sepekan penuh. Jadi tak perlu ke tukang pijat.

Keluarga merupakan perhiasan yang sangat berharga. Anak-anak adalah permata yang makin membuatnya indah. Terlalu merugi untuk diabaikan.

*) Sonny Wibisono, penulis buku 'Message of Monday', PT Elex Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan beri Komentar sehat dan membangun