Jumat, 15 Oktober 2010

Komitmen, Keberanian, dan Hasrat

Namanya Hani. Hani Irmawati. Ia adalah gadis pemalu, berusia 17 tahun.
Tinggal di rumah berkamar dua bersama dua saudara dan orangtuanya. Ayahnya
adalah penjaga gedung dan ibunya pembantu rumah tangga. Pendapatan tahunan
mereka, tidak setara dengan biaya kuliah sebulan di Amerika.
Pada suatu hari, dengan baju lusuh, ia berdiri sendirian di tempat parkir
sebuah sekolah internasional. Sekolah itu mahal, dan tidak menerima murid
Indonesia. Ia menghampiri seorang guru yang mengajar bahasa Inggris di sana .
Sebuah tindakan yang membutuhkan keberanian besar untuk ukuran gadis
Indonesia.
"Aku ingin kuliah di Amerika," tuturnya, terdengar hampir tak masuk akal.
Membuat sang guru tercengang, ingin menangis mendengar impian gadis belia
yang bagai pungguk merindukan bulan.
Untuk beberapa bulan berikutnya, Hani bangun setiap pagi pada pukul lima dan
naik bis kota ke SMU-nya. Selama satu jam perjalanan itu, ia belajar untuk
pelajaran biasa dan menyiapkan tambahan pelajaran bahasa Inggris yang
didapatnya dari sang guru sekolah internasional itu sehari sebelumnya. Lalu
pada jam empat sore, ia tiba di kelas sang guru. Lelah, tapi siap belajar.
"Ia belajar lebih giat daripada kebanyakan siswa ekspatriatku yang
kaya-kaya," tutur sang guru. "Semangat Hani meningkat seiring dengan
meningkatnya kemampuan bahasanya, tetapi aku makin patah semangat."
Hani tak mungkin memenuhi syarat untuk mendapatkan beasiswa dari universitas
besar di Amerika. Ia belum pernah memimpin klub atau organisasi, karena di
sekolahnya tak ada hal-hal seperti itu. Ia tak memiliki pembimbing dan nilai
tes standar yang mengesankan, karena tes semacam itu tak ada. Namun, Hani
memiliki tekad lebih kuat daripada murid mana pun.
"Maukah Anda mengirimkan namaku?" pintanya untuk didaftarkan sebagai
penerima beasiswa.
"Aku tak tega menolak. Aku mengisi pendaftaran, mengisi setiap titik-titik
dengan kebenaran yang menyakitkan tentang kehidupan akademisnya, tetapi juga
dengan pujianku tentang keberanian dan kegigihannya," ujar sang guru.
"Kurekatkan amplop itu dan mengatakan kepada Hani bahwa peluangnya untuk
diterima itu tipis, mungkin nihil."
Pada minggu-minggu berikutnya, Hani meningkatkan pelajarannya dalam bahasa
Inggris. Seluruh tes komputerisasi menjadi tantangan besar bagi seseorang
yang belum pernah menyentuh komputer. Selama dua minggu ia belajar
bagian-bagian komputer dan cara kerjanya.
Lalu, tepat sebelum Hani ke Jakarta untuk mengambil TOEFL, ia menerima surat
dari asosiasi beasiswa itu.
"Inilah saat yang kejam. Penolakan," pikir sang guru.
Sebagai upaya mencoba mempersiapkannya untuk menghadapi kekecewaan, sang
guru lalu membuka surat dan mulai membacakannya: Ia diterima! Hani
diterima....
"Akhirnya aku menyadari bahwa akulah yang baru memahami sesuatu yang sudah
diketahui Hani sejak awal: bukan kecerdasan saja yang membawa sukses, tapi
juga hasrat untuk sukses, komitmen untuk bekerja keras, dan keberanian untuk
percaya akan dirimu sendiri," tutur sang guru menutup kisahnya.
Kisah Hani ini diungkap oleh sang guru bahasa Inggris itu, Jamie Winship,
dan dimuat di buku "Chicken Soup for the College Soul", yang edisi
Indonesianya telah diterbitkan.
Tentu kisah ini tidak dipandang sebagai kisah biasa oleh Jack Canfield, Mark
Victor Hansen, Kimberly Kirberger, dan Dan Clark. Ia terpilih diantara lebih
dari delapan ribu kisah lainnya. Namun, bukan ini yang membuatnya istimewa.
Yang istimewa, Hani menampilkan sosoknya yang berbeda. Ia punya tekad. Tekad
untuk maju. Maka, sebagaimana diucapkan Tommy Lasorda, "Perbedaan antara
yang mustahil dan yang tidak mustahil terletak pada tekad seseorang."
Anda memilikinya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan beri Komentar sehat dan membangun