Oleh: Gede Prama
Cerita ledakan bom teroris adalah cerita kesedihan. Demikian juga dengan cerita meledaknya bom di Bali. Ratusan nyawa melayang. Kendati warga Australia yang paling banyak jadi korban, namun di depan kematian yang menyayat tidak lagi relevan bercerita tentang kewarganegaraan. Lebih relevan bercerita derita-derita manusia.
Semua manusia mau bahagia, tetapi melalui kebencian, kemarahan, dendam terus menerus manusia menumpuk derita.
Serangan teroris 11 September 2001 terhadap gedung kembar World Trade Center AS memang sebuah kegelapan. Dan kegelapan ini mau diselesaikan dengan kegelapan lain melalui serangan AS dkk ke Afghanistan dan Irak. Dan terjadilah bom Bali kedua, bom teroris di Turki, bom bunuh diri di Irak, disanderanya orang Korea di Afghanistan, peledakan bandara di London dan bom-bom susulan lengkap dengan amarah dan dendamnya. Sudah mulai tersebar luas berita dan analisa kalau nasib AS di Irak akan serupa dengan perang Vietnam.
Bercermin dari sini, peradaban sedang berkejaran dari satu kegelapan kebencian menuju kegelapan kebencian yang lain. Dalam hal ini Bali sedang berbagi cahaya-cahaya pemahaman. Mungkin benar pendapat sejumlah aktivis perdamaian, Bali adalah pusaka perdamaian dunia.
Berbagi cahaya
Di Bali pernah terjadi, bagaimana kebencian bom teroris (kendati terjadi dua kali) tidak disusul kebencian lain yang lebih besar. Kebencian, kemarahan dan dendam direspon dengan tangan-tangan yang saling bersalaman dan berpegangan. Haji Bambang dkk serta Nyoman Bagiana Karang dkk di Kuta Bali sana seperti tidak tersentuh oleh kegelapan dendam, kemarahan dan kebencian. Kemudian melangkah terang memperingan beban banyak sekali derita manusia.
Sekian tahun setelah derita Kuta terjadi, Haji Bambang telah menerima banjir penghargaan dari dalam maupun luar negeri. Nyoman Bagiana Karang sudah jadi anggota DPRD. Pulau Bali berturut-turut memperoleh predikat pulau terbaik di dunia sebagai tujuan wisata oleh sejumlah media bergengsi tingkat global. Seperti sedang berbagi cahaya-cahaya pemahaman, di mana kebencian tidak dilawan dengan kebencian, kemarahan tidak diikuti dengan kemarahan, dendam tidak dibalas dengan dendam, di sana kebencian, kemarahan, dendam berubah menjadi keagungan. Mungkin itu sebabnya nama gunung tertinggi di Bali adalah gunung Agung.
Dan melalui cara berespon seperti ini, tidak saja Bali yang sedang melukis keindahan-keindahan kedamaian, Islam (melalui keteladanan Haji Bambang dkk) juga sedang melukis keindahan-keindahan kedamaian. Tidak saja di Timur Tengah sana pernah lahir keteladanan- keteladanan Islami yang menyentuh hati. Di Bali juga pernah lahir keteladanan- keteladanan Islami yang menyentuh hati. Tanpa bertanya judul agamanya apa, Haji Bambang dkk lupa dendam, lupa kemarahan, lupa kebencian, lupa ketakutan akan kematian (karema situasi ketika itu demikian mencekam) kemudian bahu membahu meringankan tidak sedikit derita manusia. Dengan kejadian ini, Bali seperti mau membuka kembali wajah Islam yang indah: rahmatan lil-alamin (menjadi berkah semesta).
Derita, cinta dan kedalaman
Sebagaimana diceritakan banyak kisah manusia, derita memang berwajah ganda: menyakiti atau membuat suci. Derita menyakiti kalau manusia penuh api dendam dan sakit hati, kemudian dibalas dengan dendam dan sakit hati yang lebih besar. Demikian ia menggelinding seperti bola salju yang semakin membesar dari hari ke hari.
Derita membuat suci, bila manusia sadar sedalam-dalamnya kalau dalam derita juga ada bimbingan-bimbingan kehidupan. Meminjam pengalaman orang-orang suci, bila dalam daun jatuh saja ada pesan kehidupan, apa lagi dalam derita yang memakan ratusan nyawa manusia. Jika manusia berkonsentrasi pada bimbingan kehidupan dalam setiap kejadian, maka derita bisa membuat manusia mendekati cahaya. Jangankan dalam terang, dalam gelap pun cahaya itu datang. Cahaya ini juga yang membimbing Kuta tatkala digoda derita.
Dalam kearifan Timur, derita adalah momentum membayar hutang. Hutang kita ke kehidupan, orang tua, guru, kekeliruan-kekeliru an masa lalu. Siapa saja yang melawan, tidak saja gagal membayar hutang, ia malah menciptakan hutang yang baru. Siapa yang mengalir dengan derita, ia sedang membayar hutang dengan ikhlas kemudian bebas.
Dan yang penuh keberuntungan adalah mereka yang dibuat suci oleh derita. Terutama karena melalui tidak terhitung jumlah derita ia sedang membuat dirinya memiliki a boundless capacity to suffer. Kemampuan untuk menderita secara tidak terbatas. Ia sudah seagung samudera, apa pun yang dilemparkan ke sana tidak terpengaruh. Tidak kebayang agungnya kehidupan kalau kematian disambut dengan cara seperti ini.
Kebahagiaan memang menawan. Namun ia tidak mengajarkan apa-apa. Derita memang penuh air mata. Tetapi teramat banyak manusia yang dibuat lebih sempurna oleh derita. Jalalludin Rumi bercahaya akibat derita kehilangan guru dan buku. Kahlil Gibran lahir dan tumbuh dalam penderitaan. Arjuna memperoleh pencerahan dalam kesedihan yang amat mendalam. Pema Chodron memasuki gerbang pencerahan setelah langit kesetiaannya pada suami diruntuhkan perceraian.
Derita memang kerap membuat manusia peka dan mudah terhubung. Di atas semua ini, derita memaksa manusia menyadari secara mendalam bahwa dirinya saling terhubung dengan makhluk lain dalam jejaring laba-laba yang bernama kehidupan. Apa pun yang dilakukan manusia dalam jejaring ini (baik-buruk, suci-kotor, benar-salah) akan kembali ke dirinya.
Sehingga tidak berlebihan kalau disimpulkan derita Kuta derita kita juga. Bukankah dalam bunga mawar ada unsur bukan bunga mawar (tanah, air, sinar matahari)? Bukankah dalam kekejaman teroris ada jejaring kebencian manusia yang berumur ribuan tahun? Bukankah derita Kuta sedang mengingatkan manusia hanya dengan cinta kita bisa bahagia? Rupanya derita membuka jendela cinta.
Pencari-pencari ke dalam diri (melalui puasa, meditasi, dzikir, kontemplasi, yoga) teramat jarang yang berdoa agar mengalami derita. Namun, tetap saja derita berkunjung sebagai tamu kehidupan. Kadang datang melalui bencana, kadang datang melalui kematian, kesialan, kegagalan. Namun siapa saja yang telah diterangi pemahaman `derita membuka jendela cinta', tahu kalau derita juga sebentuk cahaya penerang perjalanan. Bukankah kedalaman (depth spirituality) hanya membuka dirinya pada batin yang menemukan puncak keheningan dalam goncangan-goncangan ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan beri Komentar sehat dan membangun