Oleh: Sonny Wibisono *
“Walau suap cuma secuil, dosanya tetap segunung.”
-- Edward Coke, juri di pengadilan di Inggris, 1552 - 1634
Di dalam sebuah gerbong kereta listrik berpendingin udara, seorang wanita tua berkicau sendiri. Saat petugas datang dan memintanya karcis, tiba-tiba dia menangis. Sambil tersedu sedan, ia memohon untuk tidak diturunkan. Sekalipun di stasiun terdekat. Si petugas tak kuasa memaksa dan memanggil atasannya.
Si atasan itu pun datang. Usianya mungkin seumuran dengan cucu wanita tua itu. Dengan permintaan yang sama, dia meminta agar si nenek segera turun di stasiun berikutnya. Seorang penumpang yang sedari tadi memperhatikan adegan itu akhirnya buka suara.
Dia sekadar bertanya, kenapa dengan ibu itu. Biarlah dia turun di stasiun sesuai tujuannya. Si atasan itu pun membisiki. “Badannya bau banget. Kasihan penumpang lain.” Nenek itu tak jadi diturunkan. Dan, benar saja, sejenak kemudian mulai tercium aroma bau yang tidak enak. Bau itu berasal dari luka yang mengering di kakinya.
Sementara itu, di sebuah pemakaman umum di Jakarta. Sehabis mengantar ke pemakaman seorang keluarga, seorang lelaki setengah baya mengerang menahan sakit. Kakinya terperosok pada lubang. Apes nian. Tulang keringnya berdarah. Luka menganga. Dia meringis. Namun tak sedikit pun terdengar umpatan pada jalan rusak yang membuatnya terjatuh dan terluka.
Si nenek tua tak memiliki uang untuk berobat menyembuhkan luka di kakinya. Karena biaya kesehatan dirasakan mahal di negeri ini. Si bapak tua, boleh jadi tidak hati-hati saat berjalan. Namun, bila keadaan jalan itu tidak gompal, tentu dia takkan terjatuh dan terluka. Pedestrian yang nyaman di negeri ini mungkin hanya menjadi dongeng.
Namun tiba-tiba di surat kabar dan layar televisi, tersiar kabar mengejutkan. Pria muda, baru saja berusia 30 tahun, sudah sedemikian kaya. Uangnya ditabungan hingga 28 miliar rupiah. Rumahnya di perumahan elit. Mobilnya gonta-ganti. Hanya saja, semua itu didapatkan dengan cara yang tidak logis. Seseorang mengirimkan uang itu ke rekeningnya sebagai bagian dari permainan suap dalam penggelapan pajak.
Sambil mata terus melihat televisi, tiba-tiba entah dari manakah tercium kembali bau busuk di dalam gerbong kereta yang padat penumpang. Mendadak juga terbayang kembali wajah bapak yang meringis menahan sakit akibat luka di kakinya.
Ironis, sungguh. Uang sebesar 28 miliar rupiah bisa jatuh dan dinikmati oleh seseorang yang memiliki kesempatan untuk berbuat curang ketimbang dua manusia di negeri ini yang jauh lebih membutuhkan. Uang itu semestinya masuk ke kas negara untuk kemudian disalurkan ke berbagai proyek pembangunan untuk kepentingan rakyat banyak.
Penyalahgunaan wewenang telah banyak membuat orang di negeri ini menderita. Anak-anak yang menderita gizi buruk, perut mereka membuncit, mata yang terbuka lebar, seolah menjadi pemandangan yang biasa. Atau sekolah yang tiba-tiba ambruk saat para siswa sedang belajar. Jalanan rusak dan berlubang sebelum waktunya. Dan entah contoh apa lagi, yang bisa dijejer disini tak ada habisnya.
Penyelewengan, merupakan bentuk korupsi. Salah satunya dengan memberi dan menerima komisi dari sebuah proyek, itu pula yang membuat ekonomi tinggi sehingga harga-harga naik dan tak bisa terbeli oleh mereka yang kekurangan. Padahal semua itu adalah hak mereka.
Walau suapnya cuma secuil, dosanya tetap segunung, tegas Edward Coke, seorang juri asal Inggris di abad 17. Entah kecil, entah besar, tetap saja korupsi. Dan dampaknya dahsyat. Indonesia yang bersih tentulah harapan kita semua. Ya, daripada mengutuk kegelapan, lebih baik menyalakan lilin. Dan itu bisa dimulai dari Anda, untuk tetap berbuat jujur dan tidak berlaku curang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan beri Komentar sehat dan membangun