Oleh: Agung Praptapa *
Judul sebuah artikel di Harvard Business Review edisi Maret 2010 menggelitik saya untuk segera membacanya. Tulisan yang berjudul "The Mere Thought of Money Makes You Fell Less Pain" tersebut mengungkapkan hasil penelitian Kathleen D. Vohs, seorang professor bidang Marketing di University of Minnesota, Amerika Serikat. Kathleen melakukan riset dengan metode eksperimen yaitu dengan meminta satu kelompok peserta (misalnya Kelompok 1) untuk menghitung uang dan satu kelompok peserta lainnya (misalnya Kelompok 2) untuk menghitung potongan kertas. Setelah mereka selesai menghitung, peserta pada masing-masing kelompok dibagi dua lagi, misalnya kelompok A dan B, sehinga di kelompok 1 terdapat kelompok 1A dan 1B, sedangkan di kelompok 2 terdapat kelompok 2A dan 2B. Peserta dari kelompok 1 setelah selesai menghitung uang, sebagian dari mereka (kelompok 1A) diminta untuk segera memasukkan tangan mereka ke air panas, sedangkan sebagian lainnya dari peserta kelompok 1 (yaitu kelompok 1B) diminta untuk bermain computer game. Demikian pula untuk peserta di kelompok 2. Setelah mereka selesai menghitung potongan kertas, sebagian dari mereka (yaitu kelompok 2A) diminta untuk segera memasukkan tangan mereka ke air panas, dan sebagian lagi (kelompok 2B) diminta untuk bermain computer game.
Memasukkan tangan ke air panas tentunya menimbulkan rasa sakit, dan rasa sakit tersebut kemudian diukur oleh si peneliti. Peserta yang memasukkan ke air panas yang berasal dari kelompok yang menghitung uang ternyata memiliki tingkat kesakitan yang lebih rendah dibanding dengan kelompok yang menghitung potongan kertas. Peserta yang diminta untuk bermain computer game pada prinsipnya akan diukur tingkat kegembiraannya. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa tingkat kegembiraan peserta yang berasal dari kelompok yang menghitung uang lebih tinggi dari pada yang menghitung potongan kertas. Penelitian tersebut kemudian menyimpulkan bahwa memikirkan uang akan menimbulkan efek rasa sakit yang lebih kecil dan efek kegembiraan yang lebih besar.
Penelitian tentang efek memikirkan uang tersebut kemudian saya hubungkan dengan kejadian-kejadian dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa orang yang saya kenal nampak segar semasa memiliki jabatan atau saat bisnisnya maju. Namun saat turun jabatan kemudian mereka nampak kusut, loyo, dan kurang bergairah. Saat ditanya kenapa loyo jawabannya kurang lebih diseputar kondisi keuangannya yang sudah tidak seperti dulu lagi. Asumsi saya, saat masih memegang jabatan mereka memiliki harapan yang lebih tinggi untuk mendapatkan uang sehingga meningkatkan gairah hidupnya. Untuk lebih to the point mungkin bisa saya katakan di sini bahwa saat memiliki jabatan mereka lebih memiliki akses yang lebih besar terhadap uang, meskipun belum tentu mereka bisa menggunakan uang tersebut untuk kepentingan pribadi. Nampaknya, harapan yang tinggi untuk mendapatkan uang dan akses yang tinggi terhadap uang lebih membuat mereka memiliki tingkat kegembiraan yang lebih tinggi. Ini konsisten dengan hasil penelitian Kathleen Vohs.
Teman-teman bisnis yang sedang bagus bisnisnya tentunya memiliki harapan yang lebih tinggi untuk mendapatkan uang. Hal ini nampaknya juga memberikan efek meningkatkan gairah hidupnya. Bagaimana dengan yang bisnisnya sedang redup? Bisnis redup keuanganpun ikut meredup, dan ternyata inipun ikut meredupkan gairah hidup. Bagaimana kalau mereka punya uang banyak tetapi dari hasil hutang? Mereka mungkin memegang uang banyak tetapi itu bukan uang miliknya! Kalau melihat metode penelitian yang digunakan Vohs, kita bisa katakan bahwa meskipun uang yang ada di tangan mereka bukanlah uang miliknya, tetapi tetap memberikan rasa kegembiraan yang lebih dari pada mereka tidak memegang uang. Mereka tidak sekuatir bila mereka tidak memegang uang.
Beberapa sanggahan kemudian muncul. Gairah hidup tidak hanya dipengaruhi oleh uang tetapi banyak faktor lain. Rasa sakitpun bukan karena faktor uang yang menjadi faktor utama. Putus cinta mungkin lebih menyakitkan dari pada kehilangan uang. Sanggahan tersebut pada prinsipnya tidak salah, namun konteks yang sedang dibahas adalah bagaimana efek uang dalam mengurangi rasa sakit dan meningkatkan kegembiraan. Jadi bisa saja terdapat faktor non uang yang akan lebih dominan dalam mengurangi rasa sakit dan meningkatkan kegembiraan.
Kathleen Vohs juga mendapatkan sanggahan sejenis. Vohs menjawab sanggahan tersebut dengan melakukan riset berikutnya. Vohs mencoba menggantikan uang dengan barang berharga setara uang lainnya seperti voucher, credit card, perhiasan, dan lottery. Namun ternyata hasilnya berbeda dengan saat penelitian dilakukan dengan menggunakan uang. Vohs kemudian menjelaskan lebih lanjut bahwa walaupun sama-sama mendapatkan uang, seseorang akan lebih bergembira mendapatkan uang dalam bentuk tunai dari pada bila uang tersebut dikirim langsung ke rekening bank.
Penelitian Vohs memang lebih banyak dilakukan di Amerika serikat dengan peserta penelitian (research participants) orang-orang Amerika pula. Untuk itulah maka tidak mengherankan apabila orang kemudian menyangsikan apakah hasil penelitian tersebut akan relevan bila diterapkan pada orang selain orang Amerika? Sebagai periset sejati Vohs pun kemudian melakukan penelitian yang sama di China. Hasilnya? Ternyata hasilnya tidak berbeda.
Uang ternyata sumber kekuatan, meskipun beberapa orang mungkin berfikir sebaliknya, yaitu uang justru sumber permasalahan. Ini masalah cara pandang seseorang tentang uang. Kalau kita berfikir positif tentang uang maka uang akan memberikan efek positif. Sebaliknya, kalau kita berfikir negatif tentang uang maka uang akan memberikan efek negatif pula.
Anda ingin merasa lebih kuat? Ingin merasa lebih sehat? Merasa tidak sakit? Banyak formula untuk mewujudkannya, namun formula untuk hari ini adalah cobalah berfikir positif tentang uang. Ciptakan harapan untuk mendapatkan uang sehingga hidup Anda akan semakin bergairah. Cobalah!
*) Agung Praptapa adalah seorang dosen, konsultan manajemen dan akuntansi, serta professional trainer di bidang pengembangan diri dan organisasi. Penulis buku "The Art of Controlling People" yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, tahun 2009 ini aktif menulis setelah bergabung dengan Proaktif Shoolen Network. Sampai saat ini terus aktif menjadi pembicara di dalam negeri maupun di luar negeri.
__._,_.___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan beri Komentar sehat dan membangun