Mengajarkan Anak Meminta Maaf
Duh... Anak Durhaka?
Anak Berhak Belajar Secara Menyenangkan
Ada kalanya orangtua tidak menyadari bahwa kata-kata yang kejam memiliki kekuatan lebih hebat ketimbang palu godam sekalipun. Kendalikan ucapan Anda, bila tak ingin anak-anak mengalami luka batin hingga memengaruhi perkembangan mereka.
Dari penampilan fisiknya, Rudy adalah pria yang sangat menarik. Tubuhnya atletis, wajahnya tampan dengan rambut hitam lebat. Dengan profesinya sebagai dokter dan mapan secara ekonomi, sempurnalah pria 46 tahun ini sebagai sosok idaman.
Namun, di balik gambaran ideal itu, Rudy memiliki kekurangan yang sangat besar. Setiap kali berbicara, yang keluar hanya suara sangat lirih, sehingg pasien maupun lawan bicaranya sering kesulitan untuk mendengarkan ucapannya.
“Saya sangat sensitif terhadap kata-kata orang lain. Saya selalu berpikir bahwa setiap orang pasti menertawakan saya. Sepertinya istri saya selalu mengejek saya, begitu juga pasien-pasien saya. Pada tengah malam saya selalu terbangun, lalu merenungkan setiap kata yang diucapkan orang-orang hari itu kepada saya,” cerita Rudy, yang sempat mengira dirinya sakit jiwa.
Ketika ditelusuri, di masa kecilnya ia selalu menjadi bahan ledekan atau ejekan ayahnya. Tanpa disadari oleh sang ayah, Rudy kecil memendam rasa malu yang luar biasa. Tak lain karena ia merasakan bahwa ledekan atau ejekan-ejekan sang ayah merupakan suatu hinaan.
“Ayah sering menyebut saya ‘si cacing’ karena tubuh saya sangat kurus. Dia juga sering berkata bahwa saya bukan anaknya, melainkan anak yang dipungut dari tempat sampah,” kisah Rudy memelas.
Dalam hati kecil Rudy sangat membenci ayahnya, sekaligus membenci dirinya sendiri karena merasa begitu buruk dan tak berguna. “Cacing dan tempat sampah adalah dua hal yang sama-sama menjijikkan,” tambah Rudy yang sedang menjalani terapi ini.
Kekerasan Verbal
Boleh jadi orangtua yang menyebut anaknya “Si Goblok” atau “Si Biang Kerok” atau “Si Pengacau” atau “Si Lelet” dan sejenisnya menganggap semua itu sebagai hal biasa saja. Bahkan, julukan semacam itu mungkin diberikan dengan harapan anak yang bersangkutan menyadari kekurangannya.
Mungkin Anda tak pernah membayangan bahwa julukan buruk, sebutan negatif, komentar melecehkan, kritik yang bernada menghina, dan ungkapan yang merendahkan itu memberikan pesan yang luar biasa negatif kepada anak-anak tentang siapa diri mereka.
Banyak anak yang mengalami kekerasan secara verbal (menggunakan kata-kata) menyangkut penampilan fisik mereka, kecerdasan, kemampuan, hingga nilai mereka sebagai manusia.
Menurut DR. Susan Forward dalam bukunya Toxic Parents, kekerasan secara verbal disampaikan melalui dua gaya. Yang pertama menyerang anak secara langsung, terbuka, dan secara jahat merendahkan si anak.
Contohnya adalah memberikan julukan-julukan seperti yang disebutkan di atas, termasuk menyebut si anak “tak berguna” atau yang paling keras adalah menyatakan “menyesal telah melahirkannya.” Semua itu memiliki dampak jangka panjang terhadap perasaan anak, dan memengaruhi citra diri mereka.
Kekerasan verbal juga bisa disampaikan secara tidak langsung, tetapi sangat menghinakan dan melecehkan mereka. Seringkali orangtua membungkus kekejamannya itu dengan nada humor atau canda yang sarkastis.
Contohnya, “Lihat tuh kelakuan Si Jelek. Dia ‘kan dipungut dari rumah sakit. Kalau anak Mama Papa nggak kayak gitu deh....” Dan jika si anak atau anggota keluarga lain memprotesnya, orangtua akan membela diri dengan berkata, “Ah, ’kan cuma bercanda.”
Orangtua semacam ini lupa bahwa anak-anak sangat mempercayai apa yang diucapkan oleh orangtuanya. Jika orangtua bilang si anak jelek dan bodoh, ia percaya dirinya betul-betul jelek dan bodoh. Karena itu, tidak mudah bagi mereka jika diharapkan mampu membedakan apakah ucapan ayah/ibunya itu serius atau hanya bercanda.
Maksudnya Baik?
Semua orang maklum bahwa kadang-kadang kita sebagai orangtua merasakan jengkel, kecewa, bahkan marah terhadap anak. Kalau mengikuti lirik lagu grup band Serieus: orangtua juga manusia, ayah juga manusia, ibu juga manusia.
Kadang-kadang anak-anak memang sulit diatur, suka berbuat sesuka hati, mengotori rumah tanpa henti, prestasi di sekolah kurang bagus, maunya bermain melulu, kadang berantem, ada yang mulai belajar bohong, kamar tidurnya berantakan, dan sebagainya. Ditambah dengan beban pekerjaan dan urusan-urusan lain yang berat, semua perilaku anak itu kadang membuat orangtua tidak tahan.
Ada saja orangtua yang memilih kekerasan verbal terhadap anak-anak dengan tujuan mendidik, dilandasi oleh maksud yang baik. Mungkin mereka tidak tahu bahwa tak akan pernah ada hasil yang baik jika proses untuk mencapai tujuan itu tidak baik. Maksud dan tujuan baik hanya akan terwujud baik jika dilakukan dengan cara-cara yang baik pula.
Kekerasan fisik maupun verbal, bukanlah cara yang tepat dalam mendidik anak, kata DR. Forward. Ia bahkan menyebut “kejam”, jika ada orangtua yang tahu bahwa anak-anak sangat percaya pada ucapannya, tetapi tetap mengucapkan hal-hal yang dapat melukai perasaan anak.
Bagaimanapun, anak juga manusia, punya rasa punya hati. Ucapan-ucapan bernada menghina dan merendahkan itu akan direkam dalam pita memori anak, makin lama makin bertambah dan dirasa berat, sehingga akhirnya anak memiliki citra diri negatif.
Mengganggu Perkembangan
Citra diri yang negatif itu di kemudian hari menyebabkan anak tidak mampu tumbuh sebagai pribadi yang percaya diri. Anak akan memiliki rasa malu yang kuat, bersikap ragu-ragu, dan lebih suka menarik diri dari pergaulan.
Seperti yang terjadi pada Rudy di atas. Meskipun sudah bisa membuktikan dirinya sebagai dokter dan dapat menghidupi keluarganya secara baik, ia tetap tidak percaya diri dan menyimpan perasaan malu luar biasa.
Pada anak yang lain, citra diri negatif tersebut bahkan dapat membentuknya tumbuh sebagai pribadi pemberontak, kasar, bodoh, jorok, lamban, pengacau, dan sebagainya.
Pendek kata, anak akan menampilkan diri sesuai dengan julukan yang diberikan kepadanya oleh orangtua. Anak-anak itu sangat percaya pada ucapan yang berkali-kali keluar dari mulut ayah ibu mereka.
Dengan kata lain, jika kita sebagai orangtua mengharapkan anak-anak tumbuh sebagai pribadi yang baik, sehat, cerdas, berbudi luhur, tentu kata-kata, sikap, dan perilaku kita pun harus sesuai dengan harapan tersebut.
Jika orangtua menampilkan diri sebaliknya, perkembangan anak-anak pun akan terganggu, tidak sesuai dengan harapan. Tidak mungkin kambing beranak kuda, bukan?
Mari kita jaga lidah kita.
Daftar Ucapan Kejam
* Memberikan julukan negatif kepada anak, misalnya Si Dungu, Si Goblok, Si Lelet, Si Biang Kerok, Si Pemalas, Si Pengacau, Si Penipu, dan sebagainya.
* Mengecilkan arti si anak, misalnya orangtua menyebut anak sebagai “tak berguna”, atau “percuma dilahirkan”.
* Memberikan kesan bahwa si anak tidak diharapkan, misalnya dengan menyebutnya sebagai “anak pungut” atau “diambil dari rumah sakit” atau “diambil dari tempat sampah” atau menyatakan bahwa “nggak mungkin anak Papa Mama” dan sebagainya.
* Menganggap anak sebagai sumber kesialan, dengan berkata, “menyesal sudah melahirkan.”
* Melecehkan kemampuan anak, seperti, “Ah, mana mungkin dia bisa?” atau, “Sudahlah, kamu ngerti apa....” atau, “Aku jamin kamu pasti gagal...” Kadang juga lebih halus, “Pengen deh lihat kamu berhasil, tetapi itu mustahil....”
Sumber: Gaya Hidup Sehat/kompas
WID