Apa arti perpisahan setelah kebersamaan yang penuh selama berpuluh tahun? Berapa lama duka terlarutkan karena pasangan hidup berpulang dan menyadari bahwa hidup adalah karunia dan ”pulang” adalah kedamaian?
Sampai hari ini tamu masih mengalir. Memang tidak sebanyak ketika Prof Moh Sadli baru dimakamkan, tanggal 9 Januari 2008. ”Saat ini saya masih konsentrasi pada hal-hal yang berkaitan dengan Pak Sadli,” ujar Saparinah Sadli (80), ”Yang paling sederhana, STNK mobil kami habis dan mobil itu atas nama Pak Sadli.”
Mobil itu membawa kenangan indah bagi pasangan Sadli-Saparinah yang melewati kebersamaan selama 52 tahun dalam kehidupan perkawinan yang dinikmati penuh, berdua. Sampai beberapa bulan sebelum Mohammad Sadli dirawat di rumah sakit, pasangan itu masih bergantian mengemudikan mobil ke rumah peristirahatan di Puncak, kapan pun dirasa perlu.
Bu Sap, begitu Saparinah biasa disapa—yang masih sibuk dengan kegiatan intelektual dan aktivisme—langsung menghentikan seluruh kegiatan ketika suaminya dirawat di rumah sakit. Ia menginap di situ lebih dari satu bulan sekitar Agustus-September agar dapat segera memenuhi kebutuhan yang diminta dokter untuk perawatan Pak Sadli.
Ketika Pak Sadli kembali ke rumah, Bu Sap menyiapkan obatnya, merawatnya. Ia terus menemani suaminya saat Pak Sadli harus kembali ke rumah sakit beberapa hari setelah tahun baru, sampai akhirnya berpulang, Selasa malam, tanggal 8 Januari 2008.
”Sekarang ini masih ada saja yang harus segera diselesaikan,” Bu Sap melanjutkan. ”Masih seperti waktu Pak Sadli dirawat, saya yang harus melakukan semuanya.”
Ia bersyukur karena banyak orang datang menawarkan bantuan. ”Kemarin ada teman menanyakan apakah pensiun Pak Sadli sudah diurus. Ia menawari untuk menguruskannya. Saya merasa sangat beruntung dan berterima kasih atas semua ini.”
Masa Transisi
Perempuan yang kehilangan pasangan hidup, khususnya yang melalui masa hidup bersama yang panjang, penuh cinta, dan penghargaan, tampaknya harus melalui hari-hari yang tidak terlalu mudah, tetapi juga tak bisa dihindari, untuk menuju kehidupan yang akan dilalui sendiri.
Nani Suwondo (70-an), salah satu sahabat Bu Sap yang sudah lebih dulu mengalaminya, mengingatkan, ”Kalau seluruh kesibukan sudah selesai, akan ada masa-masa yang tidak terlalu mudah, tetapi harus dilewati. Saya yakin Bu Sap mampu karena Bu Sap sangat aktif.”
Masa transisi pula yang diingatkan Ny Sophie Sarwono (85). Ia harus melepas suaminya, ahli bedah Sarwono Prawiroatmodjo, pada usia 89 tahun tanggal 30 Juni tahun 2002, dalam 59 tahun kebersamaan. ”Tepatnya 59 tahun lewat tiga bulan,” tutur ibu tujuh anak, nenek 15 cucu, dan nenek buyut dari enam cicit itu.
”Setelah pemakaman saya masih belum merasa apa-apa karena banyak teman datang,” ujar Ny Sophie. ”Setelah itu mulai berkurang. Kemudian hanya telepon.”
Lalu kekosongan yang sulit diuraikan dalam kata-kata menyergap. Rasa itu menyusup dari hal-hal kecil yang menjadi kebiasaan pasangan itu selama berpuluh tahun.
”Kursinya Mas di tempat kami biasa minum teh sore, kosong. Di meja makan tak ada piringnya lagi. Suaranya yang berat tidak terdengar lagi,” kenangnya, ”Di kamar tidur tidak terlalu terasa karena Mas dirawat di rumah sakit 1,5 bulan.”
Saat suami berpulang, hilang juga seluruh tugas yang biasa dilakukan, khususnya jika suami menderita sakit cukup lama. Seperti dikatakan Puri Hayanti (54), ”Saya mengontrol obatnya setiap hari dan menyiapkan semua yang dibutuhkan.”
Sang suami, Moh Ali, menderita diabetes selama enam tahun, lalu stroke selama dua tahun. ”Saya kehilangan tiga figur sekaligus, suami, guru, dan ayah,” tutur Puri tentang almarhum suaminya yang usianya cukup jauh di atasnya.
Setelah pemakaman, Puri disibukkan berbagai hal sampai ia lupa pada kesedihannya. Setelah itu, ada perasaan datang merambat, menguasai seluruh dirinya; sesuatu yang lebih dari kosong. Semua itu berimbas pada kesehatannya.
”Selama tiga-empat bulan berikutnya saya diserang kelupaan yang aneh,” ia menambahkan. ”Setiap bertemu teman saya selalu mengatakan, ’Suamiku kan sudah meninggal.’ Teman-teman saya malah mengingatkan, ’Kan kami ada di sana’. Iya, iya....”
Kebersamaan 32 tahun bukan waktu pendek. Hal-hal kecil selalu mengingatkan Puri pada almarhum. ”Bekas obat-obatnya, peralatan di kamar mandi, dan lemari pakaian yang masih berisi baju-bajunya di gantungan.”
Kepergian Tiba-tiba
Bagaimana kalau kepergian itu tiba-tiba? Itulah yang dialami Ny Ratna Sidharti (84) ketika suaminya berpulang pada tahun 1993. ”Dia tidak sakit, tak punya penyakit,” kenang ibu tiga anak, nenek empat cucu, yang ditinggalkan suaminya, Soemarso, pada usia perkawinan ke-43.
”Prosesnya cepat sekali,” ujarnya, ”Saya melihatnya pagi-pagi duduk di lantai dekat pintu dengan mata tertutup. Saya ajak tidur, tetapi ia duduk lagi. Dokter menganjurkan agar Bapak segera dibawa ke rumah sakit. Ia masih minta bubur ayam jam sembilan pagi, tetapi jam 11 berpulang. Saking kagetnya saya tak bisa menangis.”
Hal serupa dilalui Ny Lien Adiyono di Bandung. Usia pernikahannya menginjak usia ke-28 ketika suaminya tiba-tiba berpulang tahun 1999 pada usia 59 tahun. Adiyono meninggal di depan televisi menjelang makan malam. Lien langsung histeris dan mengalami keterpurukan panjang setelah itu.
Seusai pemakaman adalah perubahan. Kebersamaan yang pernah dilalui tak akan kembali. Akan tetapi, seperti dikemukakan Puri, ”Cinta yang kami miliki dan kehidupan bersama yang penuh, tak ikut dibawa pergi. Itu bekal yang menguatkan untuk melanjutkan perjalanan....” (Maria Hartiningsih dan Lusiana Indriasari/kompas)