Sabtu, 12 Januari 2008

Depresi Jangan Sampai Menular

Setiap anggota keluarga memang diharapkan membantu jika anggota keluarga lainnya ada yang mengalami depresi. Namun kadang yang lain ikut depresi, karena lelah menghadapinya.

Iwan adalah sulung keluarga Rustam. Saat kuliah, ia jatuh cinta pada teman seangkatannya, Rina. Sebagai pemuda introver, Iwan tak pernah memperlihatkan perasaannya terhadap Rina. Sebaliknya Rina tak pernah menganggap pergaulannya dengan Iwan sebagai hubungan istimewa, kecuali bahwa Iwan adalah salah satu teman yang enak diajak bicara.

Meskipun keduanya sering tampak berdua, tak ada yang bersifat pribadi. Mereka serius bertukar pikiran mengenai masalah sosial, politik, filsafat dan sastra yang menjadi minat mereka berdua.

Apa yang terjadi ketika Rina akhirnya punya pacar? Iwan, pemuda santun, pandai, dan banyak membaca itu, patah hati. “Saya kehilangan gairah hidup. Pergi kuliah yang semula sangat saya sukai, jadi tidak menarik lagi. Saya hanya mengurung di kamar. Dua semester saya mbolos,” kata Iwan mengenang masa lalu.

Melihat keadaan itu, suami isteri Rustam sangat prihatin. Selama berbulan-bulan Iwan keluar kamar hanya untuk mandi. “Kadang saya juga nggak mandi. Makanan yang diantar ke kamar pun sering tidak saya makan. Rasanya saya ingin mati ha-ha-ha…,” ujar Iwan yang kini tinggal di Surabaya, bekerja di perusahaan besar.

Dalam keadaan depresi berat seperti itu, Iwan menyedot hampir seluruh perhatian orangtuanya. Ia sering dibujuk keluar kamar, ditawari piknik, diajak ngobrol dan sebagainya, sehingga hari-hari mereka tak pernah dilewatkan tanpa membicarakan bagaimana menolong Iwan dari kemelut jiwanya.

“Akibatnya, dua adik saya sampai merasa diabaikan dan dianggap tidak penting oleh orangtua saya. Bapak dan Ibu pun sering bertengkar, saling menyalahkan, dan kadang menangis bersama. Mereka mengira saya sudah gila kalau bukan setengah hidup,” lanjut Iwan.

Ingin Mati
“Depresi adalah penyakit nyata. Bukan keadaan dibuat-buat, bukan pula lemah mental, kurang iman, kurang pasrah dan berbagai istilah yang menyudutkan,” ujar DR. Irmansyah, pengajar dan peneliti bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

Sayangnya, orang tak pernah dipersiapkan menghadapi anggota keluarga yang mengalami depresi. Sejauh ini para dokter pun umumnya hanya menaruh perhatian pada pasien.

Di Amerika Serikat misalnya, lebih dari 100 juta orang memiliki anggota keluarga dekat yang menderita depresi. Hasil penelitian Lembaga Kesehatan Mental Nasional Amerika menunjukkan, 40 persen anggota keluarga dekat yang turut merawat penderita depresi, juga menunjukkan gejala depresi. Itu sebabnya kadang muncul pendapat bahwa depresi itu ‘menular’.

Di Indonesia tidak pernah jelas datanya, kecuali pernah diketahui bahwa sepertiga dari orang yang datang ke Puskesmas mengalami gangguan emosional, antara lain depresi. Namun Badan Kesehatan Dunia WHO memperkirakan tahun 2010 depresi merupakan penyakit nomer satu di dunia yang paling memakan biaya pengobatan.
Menurut DR. Irmansyah, depresi merupakan penyakit yang ditandai dengan kesedihan mendalam. Gejala emosional ini biasanya disertai hilangnya perhatian terhadap hobi, minat, nafsu makan turun, sulit tidur, sulit konsentrasi, timbul keluhan fisik seperti pusing, mual, maag dan sebagainya, serta pikiran dan perasaan bersalah.

“Pada akhirnya pasien terperangkap dalam kesimpulan bahwa mengakhiri hidup adalah jalan paling baik untuk keluar dari penderitaan,” jelas DR. Irmansyah, psikiater yang berpraktek di Darma Graha Klinik, Jakarta Selatan.

Stres & Lelah
Seperti yang terjadi pada orangtua Iwan, menghadapi anggota keluarga yang depresi, menurut DR. Irmansyah, biasanya terjadi empat tahap: (1) , kebingungan melihat perubahan perilakunya; (2) muncul perasaan serba salah karena tidak tahu apa penyebab perubahan perilakunya; (3) timbul perasaan bersalah, karena merasa tak berdaya menghadapi si penderita; (4) akhirnya merasa tidak berharga karena usahanya menolong sia-sia.

Kalau menurut observasi Herbert L Gravitz, Ph.D., psikolog dari Santa Barbara, California, AS, ada lima faktor yang menjepit keluarga ketika menghadapi anggotanya yang depresi, yaitu: stres, trauma, kehilangan, sedih, dan kelelahan.
Penulis buku Obsessive Compulsive Disorder: New Help for the Family ini menguraikan bahwa stres merupakan dasar bagi pengalaman keluarga dalam soal penyakit mental. Kadang stres berlanjut menjadi psikosomatis, lalu timbul keluhan fisik seperti darah tinggi, maag, dan lain-lain.

Trauma dapat menggoyahkan kontrol, keamanan, arti dan nilai yang dimiliki keluarga. Bahkan bila penderita depresi tidak menyerang (fisik), trauma mendorong anggota keluarganya saling menyakiti lewat kata-kata.

Mengenai kehilangan, Gravitz menjelaskan bahwa keluarga bisa kehilangan kehidupan pribadi, sosial, spiritual bahkan ekonomi. Mereka juga bisa kehilangan privasi, kebebasan, keamanan dan keyakinan. “Mereka bisa kehilangan untuk sekadar menjadi keluarga biasa-biasa saja,” tulis Gravitz.

Perasaan duka cita muncul karena mereka banyak kehilangan. Bahkan untuk merasa sedih saja kadang tidak diperbolehkan, mengingat ada anggota keluarga lain yang lebih menderita. Akhirnya, kelelahan merupakan hasil yang dengan sendiri dipetik oleh setiap orang yang hidup dalam suasana seperti itu. Nyaris mereka tak pernah istirahat dari memikirkan Iwan (atau siapa pun) yang sedang depresi.
Ikut Konsultasi

“Keluarga memang mengalami penderitaan yang tak kalah serius dengan pasien itu sendiri. Mereka bisa mengalami perasaan bingung, ragu, tersingkir, terhina, frustrasi, dan sering ingin melarikan diri dari masalah ini,” kata DR. Irmansyah.

Bagaimana supaya semua itu tidak terjadi? Perlu dipahami bahwa kasih sayang dan perhatian yang besar dari keluarga sangat dibutuhkan. Tapi, kata DR. Irmansyah, itu jangan dianggap sebagai pengobatan. Harapan yang terlalu tinggi akan mendatangkan kelelahan dan frustrasi.

Seluruh keluarga hendaknya turut memberi perhatian, supaya beban tidak jatuh pada satu orang hingga terasa sangat berat. Doronglah untuk mencari pertolongan dari psikolog atau psikiater. “Dan jangan lupa, Anda sebagai anggota keluarga yang merawat harus tetap dalam kondisi baik, sehat dan tidak depresi. Karena itu, Anda sendiri sebaiknya juga konsultasi,” saran DR. Irmansyah. Setuju?



Sumber: Gaya Hidup Sehat
Wartawan: WID