"Hidup yang tak disadari tidaklah berharga. Hidup seperti itu bahkan tidak dapat disebut hidup, melainkan sekadar sebuah keberadaan mekanis dan otomatis saja."
Pola pikir, keyakinan, nilai-nilai, dan perilaku terbentuk sejak kanak-kanak. Sayang, pola pikir dan perilaku berdasarkan tradisi ini membuat persepsi kita kurang segar dan visi kurang jernih.
Setiap orang hidup dan menjadi besar dalam lingkungan budaya tertentu. Budaya, dalam konteks Ilmu Psikologi, berarti serangkaian sikap, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan perilaku yang sama-sama dimiliki oleh sekelompok orang, dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya (Matsumoto, 1996).
Pola pikir, keyakinan, dan kebiasaan seseorang terbentuk di sana, dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah, atau komunitas manapun ia dibesarkan. Dari waktu ke waktu ia belajar merespon berbagai situasi di lingkungannya. Ia berpikir, merasa, dan berperilaku sesuai dengan apa yang dipelajari dari lingkungan.
Seorang anak bersikap sopan santun karena memang itulah yang diajarkan oleh orangtua dan gurunya. Bila tidak sopan, ia mendapat teguran bahkan hukuman. Sebaliknya, bila ia sopan, akan mendapat perlakuan menyenangkan. Dengan bertindak sesuai pola pikir, keyakinan, kebiasaan, dan nilai-nilai yang dianut komunitasnya, seseorang akan mendapatkan tempat di dalam komunitas.
Itulah sebabnya setiap orang cenderung mengadopsi begitu saja segala sesuatu yang sudah diterima oleh komunitasnya. Dengan demikian, ia dapat berpikir dan bertindak secara efisien, tidak berkonflik, dan mendapatkan penerimaan.
Otomatisasi
Budaya sebagai referensi bagi kita dalam berpikir dan bertindak, merupakan suatu hal yang normal dalam kehidupan bersama. Namun, sebagai sesuatu yang terpola, menjadi kebiasaan, tanpa kita sadari sebenarnya membuat proses mental berjalan otomatis. Kita menjadi kurang kritis dan terbuka dalam memahami fenomena.
Pemrosesan otomatis, sejauh menyangkut penguasaan keterampilan tertentu yang mekanis, bagaimanapun merupakan keunggulan. Seseorang yang telah menguasai keterampilan mengemudi, melakukan aktivitas mengemudi itu secara otomatis.
Ia tidak perlu lagi berpikir dan berkonsentrasi memindah kopling, menginjak rem atau gas, meski berada di tengah-tengah arus lalu lintas yang semrawut seperti Jakarta. Bahkan, sambil mengobrol, garuk-garuk, atau bersiul menikmati musik.
Lain halnya bila proses mental otomatis berlangsung sepanjang waktu, terjadi dalam menanggapi berbagai situasi atau fenomena. Ketika berhadapan dengan orang kurang ramah, secara otomatis kita berpikir negatif dan merespon secara negatif pula karena itulah kebiasaan yang berkembang di dalam keluarga.
Sebagai bagian dari komunitas agama tertentu, kita cenderung berprasangka buruk terhadap pemeluk agama lain. Sebab, sikap itulah yang ditularkan dalam komunitas agama kita. Sebagai orang yang dibesarkan dalam tradisi berpakaian tertutup, kita cenderung menilai negatif orang yang pakaiannya terbuka. Sebaliknya, orang yang dibesarkan dalam tradisi berpakaian terbuka, cenderung memandang curiga orang yang berpakaian tertutup. Selain jalan pintas dalam menilai orang lain seperti di atas, dengan pola pikir warisan budaya, kita juga cenderung memihak pada kelompok tertentu dan menolak kelompok lain secara membabi buta.
Penilaian kita terhadap kelompok etnis, agama, gender, jenis pekerjaan, dan sebagainya juga terjadi secara otomatis mengikuti kebiasaan, tanpa daya kritis. Kita secara otomatis melakukan konformitas, menyesuaikan diri dengan harapan peran dan perilaku dari orang-orang di sekitar kita, tanpa daya kritis dan kesadaran.
Demikianlah, kita mempersepsi orang lain, kelompok, dan berbagai situasi, cenderung secara otomatis mengikuti pola pikir, keyakinan, kebiasaan, dan nilai-nilai yang sudah tertanam dalam diri kita. Kebiasaan telah menumpulkan kesadaran. Kita menjadi tidak terbuka untuk mempersepsi orang lain atau berbagai situasi secara segar, apa adanya.
Kelekatan
Belum lagi, bagaimana ukuran/norma kita mengenai apa yang penting dalam hidup. Biasanya kita sudah mematok bahwa untuk dapat hidup bahagia saya harus memiliki tubuh yang ideal; saya harus memiliki pasangan Si X yang selama ini saya impikan; saya harus kaya; saya harus bisa menjadi tentara; saya harus menjadi orang yang dihormati; saya harus dikagumi banyak orang, dan sebagainya. Ini semua tertanam dalam diri kita sebagai hasil pengalaman sepanjang hidup.
Kelekatan terhadap sesuatu yang dirasa harus ada dalam hidup, membuat kita merasakan ketakutan-ketakutan: takut gagal, takut tidak dihargai, dan lain-lain. Tidak jarang terjadi, pemuda yang ditolak cintanya oleh gadis pujaan lalu merasa lebih baik bunuh diri, atau melampiaskan dendam.
Ia tidak membuka alternatif bahwa tanpa memiliki gadis itu sebenarnya ia masih dapat melewatkan hari-harinya dengan ceria karena dirinya sendiri dan orang-orang lain di sekitarnya tidak kurang berharga. Banyak orang tidak berani tampil jujur apa adanya di hadapan orang lain karena tidak memiliki berbagai hal yang dimiliki oleh orang lain seperti rumah, mobil, keluarga utuh, dan pekerjaan layak. Tanpa itu, mereka merasa tidak nyaman.
Ada yang memilih menarik diri dari pergaulan. Namun, ada pula yang tetap bergaul dengan harus merekayasa cerita mengenai dirinya untuk mengurangi ketakutannya sendiri. Banyak yang menjadi mudah marah, menyalahkan situasi atau orang lain.
Sama saja seperti pemrosesan otomatis, kelekatan terhadap sesuatu hal juga membuat kita menjadi rabun, tidak mampu melihat diri sendiri, orang lain, dan berbagai situasi secara apa adanya. Dalam interaksi dengan orang lain, kelekatan dan ketakutan-ketakutan kita ini menjadi semacam selumbar di dalam mata, yang membuat penglihatan tidak lagi awas; visi kita menjadi tidak jernih. Apa yang dapat kita lakukan untuk membersihkan selumbar itu dari penglihatan?
Melihat dengan Kesadaran
Pada tulisan dua minggu lalu telah dipaparkan bagaimana manusia dihadapkan pada paradoks-paradoks dalam kehidupan. Salah satu paradoks adalah keberadaan alam sadar dan alam bawah sadar. Keyakinan, gagasan, prasangka, kelekatan, dan ketakutan kita yang terbentuk pada masa lampau, biasanya menjadi bagian dari alam bawah sadar. Apabila bagian dari ketidaksadaran ini yang memimpin respon-respon kita terhadap berbagai situasi, kita menjadi tidak hidup dalam kekinian.
Kesadaran terhadap situasi saat ini telah terbajak oleh masa lalu, kelekatan-kelekatan, dan ketakutan kita. Akhirnya kita tak dapat mengembangkan cinta terhadap diri sendiri dan sesama apa adanya, tak dapat menikmati hidup dengan persepsi segar; dan tidak dapat menemukan makna berharga dari situasi saat ini.
Untuk keluar dari situasi itu yang harus dilakukan adalah berproses dengan penuh kesadaran, membawa semua itu ke alam kesadaran. Anthony de Mello, seorang spiritualis asal India, dalam salah satu bukunya memaparkan beberapa langkah menyenangkan untuk menjernihkan visi.
Pertama, menyadari bahwa kita dikelilingi oleh dinding-dinding penjara berupa keyakinan, gagasan, prasangka, kelekatan, dan ketakutan kita yang terbentuk di masa lampau. Pikiran kita selama ini terlelap, tidak digunakan lagi.
Kedua, kita harus memandangi dinding-dinding itu. Sediakan waktu khusus hanya untuk meneliti gagasan, kebiasaan, kelekatan, dan ketakutan tanpa sikap menghakimi atau mengutuk. Lihatlah itu semua, dan semuanya akan hancur dengan kita pandangi (sadari).
Ketiga, gunakan waktu untuk mengamati segala sesuatu di sekitar kita. Lihat dengan sungguh-sungguh (seolah baru pertama kalinya) wajah sahabat kita, dedaunan, pepohonan, dan burung-burung yang beterbangan. Perhatikan perilaku dan adat kebiasaan orang-orang di sekitar kita. Lihatlah dengan sungguh-sungguh, maka kita akan melihat mereka segar kembali sebagaimana adanya, tanpa pengaruh gagasan lama dan kebiasaan yang serba mengaburkan dan membingungkan itu.
Keempat, langkah yang paling penting. Duduklah dengan tenang dan amatilah bagaimana pikiran Anda berfungsi. Di dalam pikiran ada aliran pemikiran, perasaan, dan reaksi yang terus-menerus. Amatilah semuanya itu beberapa saat seperti Anda melihat sungai atau film. Anda akan segera menyadari bahwa semua itu lebih mengasyikkan dari semua sungai atau film mana pun, selain lebih menghidupkan dan membebaskan.
Anthony de Mello mengajukan sebuah pertanyaan: "Apakah Anda bisa dikatakan sungguh-sungguh hidup kalau tidak sadar akan pikiran dan reaksi diri sendiri?" Hidup yang tak disadari tidaklah berharga. Hidup seperti itu bahkan tidak dapat disebut hidup, melainkan sekadar sebuah keberadaan mekanis dan otomatis saja. Ada tetapi tidur, tidak sadar.
Sayangnya, justru itulah yang oleh banyak orang dianggap sebagai hidup manusiawi.
Sumber: Gaya Hidup Sehat
Wartawan: M.M. Nilam Widyarini, MSi