Rasa kehilangan bersifat individual. Pun proses untuk kembali bangkit dari keterpurukan. Kata seorang psikolog yang masih berduka setelah suaminya berpulang setahun lalu, buku atau teori adalah pengalaman kata yang kadang seperti tidak menyentuh realitas pengalaman.
Barangkali psikiater Judith Lewis Herman dalam Trauma and Recovery (1997) dapat memberi penjelasan. Ia menulis, dalam kedukaan yang pekat ada satu situasi kritis di mana seseorang seperti berada di tepi jurang. Ada tiga pilihan di situ: diam, mundur, atau melompatinya.
Banyak orang memilih melompat dan berhasil karena kesadaran yang kuat bahwa hidup harus dilanjutkan. Untuk sampai pada keputusan itu, prosesnya bergantung pada pergulatan yang sangat personal dalam diri setiap orang. Yang bisa dikenali hanya pola, meski dukungan sangat dibutuhkan.
”Setiap orang akan mengalami pengalaman yang unik dan khusus, tergantung caranya ditinggalkan,” ujar Bu Sap, profesor di bidang psikologi. ”Saya bahagia karena Pak Sadli pergi dalam damai, tidak tampak kesakitan, dan saya ada di situ.”
Namun diakui, teman dan anggota keluarga adalah faktor penting pada masa-masa seperti itu. ”Teman itu kan pelabuhan hati,” ujar Ny Sophie Sarwono.
Meski demikian, ketergantungan pada teman, sebagaimana pada anggota keluarga, ada batasnya. ”Semua orang sibuk, anak- anak kita juga sibuk. Hidup kita tidak boleh berhenti setelah pemakaman.”
Ia merasa ”beruntung” karena saat itu disibukkan acara reuni besar teman-teman sekolah di HBS (Hogere Burger School/sekolah setingkat SMP zaman Hindia Belanda) yang sudah disusun rencananya setahun sebelumnya. ”Saya punya kegiatan yang menyita tenaga dan perhatian,” kenangnya. Setelah itu ia pelan-pelan kembali aktif di berbagai kegiatan sosial.
Kuncinya Menerima
”Life must go on,” sambung Puri, yang selama enam bulan setelah kesibukan pasca-pemakaman selesai, tak tahu apa yang harus dilakukan. Sampai pada satu titik, ia dikenalkan seorang teman pada teman-teman (perempuan) yang menggandengnya menuju pencerahan spiritual-ilmiah. Dari pertemuan reguler ia menjadi lebih memahami hakikat kehidupan dan kematian.
Dalam bahasa lebih sederhana, Ny Ratna Sridharti mengatakan, ”Yang pulang tidak akan kembali. Saya ikhlas, karena kita semua memang harus pulang. Tinggal waktunya saja.”
Pergulatan batin menuju ikhlas itu berlangsung sekitar tiga bulan. Setelah itu ia melanjutkan kegemarannya, merajut, berkebun, dan membaca; yang semuanya bersifat meditatif. ”Sekarang sudah tidak bisa berkebun lagi karena jalan saja harus pakai tongkat,” ujarnya.
Pertemuan dengan teman-teman dan keluarga dalam arisan reguler juga sangat membantu, dan karenanya, selalu ditunggu. ”Tetapi teman-teman yang sudah sepuh lama-lama juga habis karena pulang duluan.”
Ny Lien menarik diri dari seluruh kegiatan sekitar satu tahun. Namun teman-teman dan anggota keluarga tak jera mendekatinya, sampai akhirnya Lien dapat menangis. Ajaib, tangisan itulah yang menyembuhkan.
”Akhirnya terpikir, untuk apa saya begitu terus. Kesedihan membuat saya meninggalkan orang-orang yang mencintai saya,” ujar Ny Lien yang kini aktif di organisasi sosial Ikatan Wanita Melur di Bandung.
Karena menyadari pentingnya peran teman dalam masa-masa transisi seusai pemakaman suami, Ny Sophie Sarwono mengajak Bu Sap untuk sering bertemu, nanti, kalau kesibukannya sudah berkurang. ”Ayo, kita ngobrol, yang ringan-ringan saja... talking nonsense....” (MH/IND/kompas)