“Bila cinta sudah dibuang, jangan harap keadilan akan datang..” (Iwan Fals)
Asep (bukan nama sebenarnya) hanya bisa mewakilkan jeritan hatinya pada syair yang dilantunkan oleh Iwan Fals diatas. Pasalnya, kejadian yang menimpa dirinya persis seperti yang tertulis dalam lagu tersebut. Cintanya dengan Cucu (juga bukan nama sebenarnya) kandas. Buntutnya ia pun harus berurusan dengan polisi.
Loh, apa pasal? Apakah lelaki yang tinggal di Bandung itu melakukan tindakan kekerasan terhadap sang pacar?. Tidak. Asep terlalu kalem untuk dilaporkan dalam tindakan kekerasan. Asep terpaksa memenuhi panggilan polisi karena dilaporkan oleh Cucu atas tindakan pencurian motor. Duh.
Anehnya motor yang dilaporkan dicuri itu tercatat atas nama Asep sendiri. Bagaimana bisa?
Cerita bermula ketika Asep dan Cucu masih dalam suasana dimabuk asmara . Asep mencintai Cucu, begitu pun Cucu tak bisa dipisahkan hari Asep. Setiap pagi, Asep datang ke rumah kost Cucu dan mengantarnya ke tempat kerja. Sorenya, Asep datang ke tempat kerja Cucu dan mengantarnya pulang ke rumah kost.
Asep tak pernah protes, meski uang bensin untuk motor jadi bertambah. Belum lagi jarak yang jauh membuat Asep harus berpacu dengan waktu agar tidak terlambat masuk kerja.
Lalu, entah karena sering dimarahi oleh bos atau karena terlalu capek, Asep minta pengertian Cucu agar Cucu berangkat sendiri ke kantor. Cucu bersedia. Ia akan ke kantor naik angkot.
Dasar terlanjur cinta, Asep tak tega melihat Cucu turun naik kendaraan umum. Motor kesayangan yang biasa dipakai untuk menjemput antar Cucu “dipinjamkan” pada Cucu. Sengaja kata dipinjamkan diberi tanda petik, karena maksud sebenarnya lebih dari sekedar dipinjamkan. Itu motor menginap di rumah Cucu.
Begitulah, Asep kemudian rela mengayuh sepeda ketempat kerja yang tak terlalu jauh dari rumahnya. Dan Cucu tak berdesak-desakan diatas angkot.
Cucu pun ternyata bukan tipe perempuan yang mau enaknya sendiri. Sadar kalau ia mendapat keuntungan dengan kehadiran sang motor, Cucu pun membalas kebaikan Asep dengan membayarkan cicilan motor. Juga, Cucu merawat sang motor seperti miliknya sendiri. Rutin datang ke bengkel servis dan memilihkan oli terbaik. Cucu bahkan punya panggilan kesayangan untuk sang motor, si Oncom.
Klop, satu pria baik hati yang perhatian dengan kekasihnya dan seorang perempuan berhati lembut yang juga peduli dengan kondisi pacarnya.
Kemudian, entah karena frekuensi pertemuan yang berkurang atau sebab lain. Asep dan Cucu sering terlibat pertengkaran. Dan puncaknya, mereka sepakat untuk “break” atau “colling down”, atau apapun lah namanya. Mereka sepakat untuk tidak bertemu sementara waktu. Tetapi tidak berpisah. Mungkin bagi mereka yang sudah berkeluarga, ini disebut pisah ranjang.
Asep masih cinta Cucu dan Cucu pun belum bisa sepenuhnya lepas dari Asep. Tapi untuk sesaat mereka butuh waktu untuk saling introspeksi diri. Asep tak lagi sibuk meng sms Cucu. Sebaliknya Cucu pun tak tagi mendengar ring tone khusus yang biasa berbunyi bila Asep memanggil.
“Tak sengaja, lewat depan rumahmu.” (Desy Ratnasari)
Satu bulan sudah, Asep dan Cucu tak saling berkirim khabar. Asep tak bisa menipu diri. Ia merindukan Cucu. Cukup sudah ego ini dipendamnya. Apalagi, dalam waktu dekat peringatan hari jadian mereka akan tiba. Asep ingin memanfaatkan moment itu untuk kembali bersatu dengan Cucu.
Sore itu, kantor tempat Asep bekerja pulang lebih awal. Orang tua pimpinan meninggal, dan para manager harus pergi melayat. Kesempatan bagus, Asep punya waktu ke kantor Cucu. Dengan seikat mawar dan ojek, Asep bergegas ke kantor Cucu.
Namun, alangkah kaget Asep ketika sampai di pintu masuk kantor Cucu. Ia melihat Cucu bergelayut manja dengan seorang lelaki. Motor berkelebat ditingkahi derai tawa disapu angin sore. Dan motor yang di racak itu adalah, si Oncom.
Asep geram. Darahnya mendidih. Tak berpikir lama, ia menyuruh tukang ojek yang belum sempat dibayarnya untuk membuntuti sang kekasih.
Tukang ojek memang keren, tak perlu waktu lama, mereka sudah berada dibelakang Cucu dan entah siapa lelaki itu. Beberapa lampu merah sudah mereka lewati, namun belum ada tanda-tanda cucu dan lelaki itu berhenti. Dan jalan ini bukanlah arah menuju rumah kost Cucu.
Asep gelisah membuntuti.
Entah karena perasaan bersalah atau punya indra ke enam, Cucu merasa ada yang mengikutinya. Lalu di depan sebuah warung , Cucu berhenti. Ojek juga. Malang bagi Asep, ia terlupa memasang helm dan wajahnya dengan mudah dikenali.
“Ngapain lu ngikutin gue?”, ketus Cucu
“Loh, napa gak boleh, lu kan masih pacar gue”, balas Asep.
“Pacar apa, kita kan udah bubar”
“Bubar, kata siapa, kita sepakat untuk break”
“Ya, break itu artinya bubar, lu bukan lagi pacarku”
Dum, bagaikan petir disiang hari. Asep merasa kepalanya dihantam dua truk tronton. Cucu yang masih dicintainya ternyata sudah berubah.
“ Ada apa Yang”, lelaki yang sedari tadi nungguin si Oncom mendekati Cucu.
“Ini, mantanku nyari gara-gara, ngikutin kita dari tadi”
Mantan?. Dengan entengnya kata “mantan” keluar dari mulut Cucu. Asep pun menyerah. Pacar baru si Cucu menyalaminya, memperkenalkan diri. Tapi telinga Asep terlanjur pekak. Ia tak bisa mendengar apa-apa.
Pasrah, Asep melihat Cucu melingkarkan tangannya ke badan pacar barunya, dan berlalu. Tentu saja dengan si Oncom. Tinggallah ia dengan mawarnya yang mungkin sudah remuk. Dan tukang ojek yang menunggu bayaran.
“namun tak kan mudah bagiku..” (Samson)
Tak ingin berlama-lama dengan sedih, Asep bertekad memulai hidup baru. Dan itu akan dimulainya dengan kembali menunggang motor ke kantor. Sayangnya, saat ini sang motor telah berpindah ke rumah Cucu. Asep menghubungi Cucu dan meminta si Oncom dikembalikan. Cucu menolak.
Asep memutar otak. Sadar cara halus tidak akan berhasil, Asep memilih “mengambil” si Oncom dari tempat kerja Cucu. Nah, gara-gara “mengambil” inilah Asep berurusan dengan polisi.
Kepada polisi, Asep mengaku kalo ia hanya mengambil balik motornya yang dikuasai Cucu. Cucu menolak mengakui si Oncom sebagai milik Asep karena ia sudah membayari cicilan Oncom selama 5 bulan. Cucu minta uangnya dikembalikan, bila Asep bersikeras mengambil Oncom.
Asep mengalah, ia bersedia menyerahkan uang sejumlah 2 juta pada Cucu. Cukup, tenyata tidak. Cucu masih menginginkan komputernya yang dipakai Asep. Asep bersedia mengembalikan komputer dengan syarat TV nya yang berada di kamar kost Cucu dikembalikan.
Giliran Cucu meradang. TV itu adalah hadiah dari Asep ketika Cucu berulang tahun. Masa hadiah diminta lagi.
Entah bagaimana cerita ini akan berakhir. Yang pasti, karena kesal Cucu pun bersikeras menolak mencabut pengaduannya di kantor polisi.
Tinggallah Asep harus mengarang cerita kenapa ia mencuri motornya sendiri.
Pesan moral: Motor, komputer dan TV tak mampu menyatukan cinta, he he...
Arde Wisben, menulis ulang dari cerita adik tentang temannya...
.