Selasa, 22 Januari 2008

PAHIT

PERNAH mendengar kisah tokoh khayalan Nasrudin? Suatu haribia mengeluh pada istrinya, Shakila: ''Dulu, waktu baru nikah, setiap kali saya pulang ke rumah, kau membawakan sandal saya dan anjing kita menyambut dengan gonggongan.

Kini terbalik, anjing kita yang membawakan sandal, dan kau yang menggonggong.

''Mendengar kegusaran suaminya, Shakila tak kalah tangkas menangkis: ''Jangan mengeluh suamiku, bagaimanapun engkau tetap mendapatkan pelayanan yang sama: ada yang membawakan sandal dan ada yang menggonggong.''

Menyelaraskan keinginan memang tak mudah. Ada unsur waktu, ada rasa pakewuh. Tapi, begitu watak asli terkuak , seiring dengan rasa bosan yang muncul , kecerewetan,ketidaksabaran, dan ketidak bersahajaannya pun mencuat.

Begitulah manusia. Cenderung menyukai mengenakan topeng,khususnya bila urusan duniawi jadi tujuan pokok.Mungkin, topeng itu pula yang membuat kita sering terkecoh.
Kita suka melihat yang tampak, bukan bagian yang ''dalam''. Kita cenderung mencuatkan ego. Akibatnya,seperti dikisahkah Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, pengajar di beberapa perguruan tinggi, ada perkawinan yang hanya berumur tujuh hari.

Ceritanya, sepasang kekasih telah berpacaran tiga tahun.Si wanita 33 tahun, dan prianya 37 tahun. Cukup matanguntuk berumah tangga. Apalagi keduanya sarjana.''Ternyata, rumah tangga mereka cerai gara-gara soal lampu,'' kata Amin.

Si wanita, yang selama 33 tahun selalu tidur dalam keadaan terang, menghendaki kamarnya diterangi. Sebaliknya, suaminya bersikukuh harus gelap. Maklum, 37 tahun dia selalu tidur dalam gelap. Kompromi tak bisa dicapai.Mereka pun cerai.
Padahal , memasang lampu lima watt yang remang-remang kan bisa,'' ujar Amin.Begitulah jika manusia menekankan keinginan sendiri tanpa menimbang perasaan orang lain. Hatinya kosong.
Kesetiaan,penghormatan, perhatian, kepedulian, keadilan, kejujuran,semua ditentukan melalui kualitas hati. Tanpa hati yang jernih, seseorang akan sulit menyatakan terima kasih,apalagi berbagi kasih.


Djodi