Kamis, 24 Januari 2008

Menata Kehidupan Menuju Kebahagiaan

Menata kebahagiaan, dalam detak waktu tahun yang baru dimulai, banyak
kesuksesan yang dialami pada tahun yang baru berlalu, bukan berarti
kita boleh tetap terlena. Begitu juga jika banyak kekecewaan yang
kita dapati, bukan berarti kita tetap jalan ditempat untuk meratapi
nasib.

Ketika terbangun di pagi hari, kita merasakan bahwa diri ini masih
hidup, kunci kebahagiaan adalah bersyukur, maka awali hidup bersyukur
dengan memiliki nyawa ini, dengan demikian kita menghargai kehidupan
ini. Sekaya apa pun, jika nyawa sudah meninggalkan raga, maka harta
benda tidak ada arti lagi.

Sering kita memfokuskan diri pada apa yang kita inginkan, kita selalu
berpikir dan berkemauan yang ideal, sehingga membuat kita menjalani
hidup dengan segala rasa kurang puas. Kita tidak pernah memfokuskan
diri pada apa yang sudah kita miliki, dan memberdayakan seoptimal
mungkin apa yang ada, dan apa terjadi pada kita.

Hal ini bukan berarti, kita pasrah dengan apa adanya. Tetapi jika
kita tetap berfokus pada keinginan ideal, hidup pun terasa menjadi
sengsara, karena selalu merasa kurang puas dengan apa yang sudah
dimiliki atau yang terjadi.

Tentunya boleh saja kita memiliki keinginan yang dicita-citakan,
tetapi kita perlu menyadari bahwa itulah akar perasaan tidakb
tenteram. Sang Budha selalu mengingatkan hal ini
demikian: "Kesengsaraan yang sesungguhnya adalah, karena kita melekat
pada kepemilikan harta duniawi".

Katakanlah kita sudah memiliki rumah, kendaraan, pekerjaan tetap, dan
pasangan, juga sudah memiliki anak. Tetapi, Anda masih merasa kurang.
Pikiran Anda dipenuhi berbagai target dan keinginan.

Anda begitu terobsesi oleh rumah yang besar dan indah, mobil mewah,
serta pekerjaan yang mendatangkan lebih banyak uang, bahkan memiliki
anakpun, kita tidak merasa puas sebab belum mempunya anak lelaki atau
perempuan. Kita ingin ini dan itu.

Apabila tidak mendapatkannya, kita terus memikirkannya. Anehnya,
walaupun sudah mendapatkannya, kita hanya menikmati kesenangan
sesaat.

Kita tetap tidak puas, akhirnya kita diperbudak ambisi sendiri,
sehingga hidup tidak lagi bisa dinikmati, yang terjadi hidup menjadi
siksaan yang setiap hari harus dijalankan. Dengan melihat apa yang
menjadi problem kita, hendaknya itu cepat diselesaikan, jika
dibiarkan terlalu lama, berlarut-larut, membuat kita jadi frustrasi,
dan akhirnya depresi. Segera buat keputusan, dan jangan menjadi orang
yang terlalu ideal. Itu memang penyakit kita, apa yang ada di
pikiran, dan menjadi prinsip di batin harus
dijalankan, dan kalau ada penentang atau hambatan kita hajar atau
kabur. Itulah masalah yang kita timbulkan sendiri.

Untuk tetap eksis dalam iklim perubahan yang cepat berubah, kita
harus pakai strategi lentur dengan meminjam ilmu bambu, batang bambu
walaupun tinggi, ditiup angin sampai ujungnya mencapai tanah pun
bambu itu, dia tidak patah, bahkan bisa melambai naik kembali.

Ibarat Air

Batang bambu mampu mengikuti terpaan angin badai sekalipun. Begitu
juga kita, harus mampu mengikuti arus kehidupan tanpa menghakimi,
nikmati saja seperti air mengalir, tidak lurus kaku, jika ada yg
menghambat bisa membelok atau mencari jalan lain, tetapi tidak
berhenti.

Karena itu, air yang terhenti akan mengendap jadi kubangan lama-lama
dipenuhi cacing dan jadi dangkal. Mengalir ibarat air itu penting.
Hal tersebut dijabarkan dengan bekerja sebagaimana porsi dan posisi
yang kita dapat dalam hidup ini.

Orang bijak sadar bahwa keberhasilan atau kegagalan hidupnya adalah
konsekuensi perbuatan dan hasil pikiran yang terbentuk oleh diri
sendiri. Maka Belanda punya pepatah "Luis- teren en niet oordelen",
yaitu hanya dengan mendengar (menjalankan) , tanpa menilai atau
memvonis, ternyata sukses bisa dimulai dengan berlaku demikian.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa manusia sesungguhnya makhluk
pemalas. Mereka mengharapkan ada kekuatan suci tertentu yang dapat
menghapus dosa-dosanya, sekaligus membawa mereka ke tempat yang suci
yang nyaman. Apakah itu benar dan masuk akal? Tidak mungkin kita
hanya dengan berdoa akan menjadi sukses dan bahagia, tetapi kita
harus bekerja, berkarya sambil berdoa, agar iman menjadi kuat untuk
menjalani apapun yang terjadi diluar kemauan kita, dan rasa bahagia
selalu tercipta disanubari kita.

Dalam membentuk dunia, teknologi pegang faktor peranan. Dunia kita
tambah hari tambah cepat berubah seperti adanya internet, memang
banyak manfaatnya tetapi sekaligus banyak menuntut, dimana hampir
tidak ada waktu lagi untuk ambil ketenangan dan mendengar nurani
kita.

Kita lebih senang mensolusikan problem kecil-kecil dan pada umumnya
yang datar daripada mempertanyakan pertanyaan pertanyaan penting,
seperti apa tujuan hidup saya? Untuk tujuan apa saya terlahir? Apa
yang mampu kita lakukan untuk meraih kebahagiaan diri maupun
menyejahterakan orang di sekeliling kita?

Dengan situasi perkembangan teknologi yang maju, kita mendapat
kekurangan berdialog mendengarkan suara batin kita, keasyikan
menantap layar monitor, membuat kita kehilangan kesempatan
berkomunikasi dengan orang-orang terdekat, hal ini bisa menyebabkan
jiwa kita kesepian dalam keramaian, rasa rutin yang membosankan
melelahkan jiwa. Dengan demikian kita membawa kelelahan jiwa ini
dalam menjalankan pekerjaan, kesekolah atau menjalankan aktivitas
apapun, kita merasa tidak ada lagi energi untuk lebih mendalam untuk
menjalankan kehidupan ini.

Apa yang terjadi sekarang, kita merasa lebih banyak materi, tetapi
jiwa kita tambah miskin. Kepribadian kita di kejar dalam spiral untuk
menjadi konsumtif, Sedangkan jiwa kita merasa kosong dan berkeinginan
pada pembaruan/perubahan .

Dalam hati nurani kita ada suara yang memperingati, mengenai
perkembangan bertolak belakangnya antara kepribadian dan jiwa. Kita
kehabisan waktu untuk menjalankan apa yang kita mau, apa yang membuat
kita bahagia, akhirnya rasa humor hilang, yang ada hanya formalitas
menjalani kehidupan dengan banyak senyum palsu.

Ketika kita sedang labil atau ragu ragu dengan bahaya dan harapan.
Ini bisa dilihat dalam pekerjaan, politik, entertaiment, sport di
mana kekosongan dari kejiwaan manuisia paling menonjol. Berita
baiknya, situasi kejiwaan ini, bersifat hanya sementara.

Kalau kita mau memperhatikan lagi, teriakan 'minta tolong' dari jiwa
kita, jiwa kita yang kesepian, jiwa kita yang kosong, kita bisa lagi
memenuhinya dengan hidup optimis dipenuhi humor, bisa memaafkan, dan
mempunyai harapan! Sebab harapan adalah kebijaksanaan yang membuat
kita tidak putus asa.

Tentu hal ini tidaklah mudah, beradaptasi dengan situasi dunia
sekarang, karena kita sudah terbentuk untuk berusaha keras dengan
kekuatan otak, sampai manipulasi emosipun dijalankan, serta
mengeksplotasi sampai ke perfeksi. Personalitas kultus menguasai masa
bertahun-tahun hidup kita dalam masyarakat.

Kita bisa keluar dari lingkaran, dan melangkah menuju pembaruan, jika
kita menemukan lagi jiwa kita dan menrespeknya, sadari untuk memberi
waktu pada diri kita sendiri untuk bisa merasakan lagi apa yang kita
mau, hentikan memenuhi tuntutan orang pada diri kita, stop berbuat
hanya untuk menyenangkan hati orang lain, sementara hati kita sendiri
menangis ketika melakukannya.

Semua orang mempunyai kekuatan untuk berinspirasi kalau dia mau,
termasuk inspirasi untuk dirinya sendiri, kita bisa terinspirasi
untuk membuat orang lain bahagia, dengan menjadikan diri kita orang
bahagia, yang menyebar isnpirasi kebahagiaan, dengan banyak contoh
tingkah laku yang mampu menciptakan kebahagiaan untuk diri sendiri
dan orang lain. Seperti kata Albert Einstein katakan,

"Contoh bukanlah hal yang paling penting, tetapi hanya satu satunya
cara yang bisa anda perbuat, untuk memengaruhi orang lain".

Sumber: Menata Kehidupan Menuju Kebahagiaan oleh Lianny Hendranata