Orang Jakarta, diduga sudah sulit tersenyum. Padahal orang yang sulit tersenyum, boleh jadi karena dia tidak bahagia. Lama tak pulang ke Indonesia, Indra, eksekutif muda yang lama tinggal di Eropa, merasa terkejut dengan perubahan yang terjadi pada masyarakat kita. “Orang Jakarta mengalami kemunduran yang jauh,” katanya.
Kemunduran yang dia maksud bukan menyangkut cepatnya mengikuti mode busana, mobil dan bangunan rumah maupun gedung, melainkan dalam soal sopan santun dan keramahtamahan.
Promosi bahwa masyarakat Indonesia itu ramah dan murah senyum, nyaris tidak dijumpainya di Jakarta. “Rasanya sulit saya menemukan orang yang tersenyum, di bank sekalipun di mana kita menaruh uang,” tambah Indra. Senyum juga tak lagi dia jumpai ketika mengurus tiket di biro perjalanan, hotel, restoran hingga di taksi.
Boleh jadi orang Jakarta memang sudah mulai kehilangan kemampuannya untuk sekadar memberi senyum. Cobalah Anda perhatikan wajah-wajah orang kantoran di dalam mobil pribadi, di bus kota dan angkutan umum lain. Yang terlihat pastilah wajah-wajah tegang, muram, cuek, kalau bukan mengantuk.
Lebih parah lagi ketika ia harus mencari alamat. “Di Jakarta, rasanya sudah begitu sulit menemukan orang yang mau menunjukkan jalan ketika kita menanyakan alamat,” katanya. Lebih banyak orang yang menjawab “tidak tahu” daripada yang memberi penjelasan. Keadaan seperti itu tidak dijumpainya di Eropa -- negara-negara Barat yang oleh masyarakat kita dituduh individualistis.
Untungnya dia tidak punya penilaian serupa untuk kota-kota lain yang sempat dikunjunginya. Di kota-kota kecil, ia menemukan keramahan yang berlebihan, karena ada orang yang bahkan mau memandunya ke tempat tujuan.
Tidak Bahagia
Apa yang membuat seseorang, apalagi suatu masyarakat, menjadi begitu sulit tersenyum? Padahal senyum, menurut pakar psikologi DR. Dewi Matindas, merupakan pertanda awal bahwa seseorang siap dan terbuka untuk menerima orang lain.
Tanpa senyum, otomatis akan menimbulkan kesan pada orang lain bahwa kita tidak siap berinteraksi. Dan itulah yang dirasakan oleh Indra, sampai ia bertanya, “Apakah mungkin karena saya sudah dianggap orang asing, sehingga tidak lagi diterima dengan ramah?”
Menurut Dra. Nilam Widyarini, MSi. Masalah sulit senyum ini dapat dilacak dari apakah seseorang merasakan hidupnya bahagia atau tidak. Orang yang bahagia, beban jiwanya menjadi lebih ringan sehingga lebih mudah untuk mengekspresikan senyum dari hatinya.
“Meskipun orang itu optimistis-tidak realistis, misalnya pada orang yang punya prinsip, ‘saya memang miskin secara materi, tapi hidup ‘kan tidak hanya soal materi’, maka hidup orang ini akan lebih bahagia. Bandingkan dengan orang yang pandangannya realistis. ‘Saya memang punya gaji besar, tapi kebutuhan saya juga banyak.’ Orang seperti ini akan merasa hidupnya tidak bahagia. Maka dia akan menjadi sulit untuk tersenyum. Bagaimana bisa senyum kalau tidak bahagia?” urai master psikologi dari Universitas Gadjah Mada ini.
Tidak Sesuai Standar
Apa yang membuat orang tidak bahagia juga bermacam-macam. Namun Nilam menaruh perhatian besar pada soal bahwa seringkali orang menuntut dirinya tepat, sempurna, sesuai standar yang ditetapkan bagi dirinya sendiri. Jika keadaan atau situasi dirasakan tidak sesuai standar, dia tidak dapat menerima, dan karenanya tidak bahagia.
Misalnya, Sonny punya standar bahwa ia akan bahagia kalau karirnya sukses. Ukuran profesional sukses jika naik BMW. Maka selama belum bisa beli BMW, Sonny merasa tidak sukses, dan karenanya tidak merasa bahagia. “Padahal orang lain bisa bahagia hanya dengan tersenyum saja,” tambahnya.
Dalam hubungan interpersonal, jika seseorang punya standar bahwa sebagai orang terhormat, orang penting, orang ternama, bos dan seterusnya selalu mendapat perhatian dan pelayanan, maka jangan harap dia akan tersenyum ketika tidak mendapat perhatian, apalagi harus melayani. Termasuk melayani orang yang bertanya alamat, atau mengambil uangnya sendiri di bank!
Orang juga tidak bahagia jika mengalami gangguan emosi, termasuk gangguan emosi ringan jenis neorotik yang ditandai dengan kegelisahan. Sumber gangguan emosi adalah tekanan mental, yang bisa didapat dari sisa-sisa tekanan mental di masa kecil, tuntutan peran, tuntutan pekerjaan dan sebagainya.
Tentu butuh penelitian apakah betul orang Jakarta sudah susah senyum. Dan jika ya, apa yang menyebabkannya: standarnya tidak tercapai, atau karena neorotik? Atau sekadar bahwa orang merasa tidak aman tinggal di Jakarta, lalu sulit senyum dan sulit beramahtamah hanya sebagai ekspresi rasa curiganya yang tinggi terhadap orang yang tak dikenal? Bisa jadi demikian.
Bentuk Agresi
Bukan cuma sulit senyum. Dalam pergaulan sehari-hari sering pula dijumpai orang-orang yang lebih suka pasang ekspresi bungkam (diam dan tidak ada respon yang memungkinkan terjadinya komunikasi). Pada orang-orang seperti ini, jelas, tak ada senyum sama sekali. Mereka bahkan menghindari kontak mata, supaya tidak perlu memberi respon.
Dalam buku Coping With Difficult People karya Robert M. Bramson, Ph.D dijelaskan bahwa sikap bungkam itu dilatarbelakangi oleh berbagai sebab. Seperti pada beberapa spesies lain, sikap tidak responsif merupakan cara mengatasi situasi yang diduga punya potensi mendatangkan penderitaan, kesulitan, atau kerepotan.
Bagi orang-orang yang tidak responsif, sikap bungkam memiliki daya tarik sebagai bentuk agresi. Jika seseorang ingin mengontrol atau melukai hati orang yang ingin mengajak bicara, tidak ada cara yang paling aman kecuali diam. Orang bisa sangat frustrasi, kecewa, marah memandangi wajah yang bungkam membatu itu.
Sikap bungkam bagi sebagian orang juga dipakai untuk mengasingkan diri. Memberi respon dengan senyum maupun bicara, berarti membuka diri bagi situasi konkrit yang mungkin tidak menyenangkan. Membiarkan orang lain bingung, bagi orang yang tidak responsif, dianggap lebih aman daripada membuka diri.
Mempertimbangkan semua itu, mungkin ada baiknya kita bertanya pada diri sendiri. Sudah begitu sulitkah hidup kita, sehingga harus bungkam dan untuk tersenyum pun sudah sulit? Untuk tersenyum kita tidak perlu menunggu bahagia, sebab dengan tersenyum kita bisa bahagia. Tidak percaya? Coba saja!
Sumber: Gaya Hidup Sehat
Wartawan: WID