Sabtu, 12 Januari 2008

Kritis Terhadap Pendapat Yang Berbeda

Untuk menjadi yakin terhadap pendapat kita sendiri, pendapat dari orang lain atau second opinion sangat diperlukan. Yang perlu dipahami, pendapat lain itu bukan untuk memberi dukungan terhadap pendapat kita. Bagaimana jika berbeda?

Hari Minggu yang lalu tanpa disangka-sangka Pak Hari dan Bu Tiwi datang berkunjung ke rumah kami. Rasanya sudah lama sekali kami tidak pernah bertemu karena kesibukan masing-masing. Sungguh suatu kejutan yang menyenangkan.

Anehnya mereka datang dengan taksi, satu hal yang tidak biasa karena mereka sebenarnya memiliki sebuah sedan yang selalu dikemudikan sendiri oleh Pak Hari atau kadang-kadang oleh Bu Tiwi.

Melalui ceritera Pak Hari kami baru tahu bahwa mobil mereka baru saja laku dijual dengan harga ‘bagus’ dan sekarang sedang orientasi membeli mobil baru. Dari cerita ini terjawab juga mengapa mereka tiba-tiba datang, setelah sekian lama kami tidak saling berhubungan. Suami saya memang dikenal punya pengalaman dan agak ‘ahli’ mengenai mobil.

Singkatnya Pak Hari dan Bu Tiwi bermaksud meminta pandangan dari suami saya, mengenai pilihan mereka tentang mobil yang akan dibeli. Mereka sudah punya pertimbangan-pertimbangan yang cukup matang mengenai pilihan mobil, termasuik soal harga dan cara membayarnya.

Tetapi kelihatannya mereka masih belum mantap kalau belum mendengar pandangan dari suami saya. Pada awalnya Pak Hari hanya meminta pendapat tentang apakah merek mobil X cukup bagus? Bagaimana bandingannya dengan merek Y? Mana yang lebih ekonomis? Mana yang lebih bandel mesinnya, dan sebagainya, dan sebagainya.

Lama-lama kelihatan jelas bahwa antara Pak Hari dan Bu Tiwi ada kebingungan dan saling pandang. Akhirnya mereka tidak dapat menyembunyikan lagi apa yang ada di benak mereka. Bu Tiwi berterus terang mengatakan bahwa apa yang disarankan oleh suami saya tidak menjadi pilihan mereka. Sekarang mereka jadi bingung karena pendapat mereka tergoyahkan oleh pendapat yang berbeda.

Menjadi Pertimbangan
Agak lama mereka mengobrol dengan kami, sempat makan siang di rumah dan agak sore baru pulang. Senang juga hari itu, meskipun sebagian besar obrolan bicara tentang mobil, tetapi suasananya sangat santai. Saya memang sudah lama merindukan suasana seperti itu.

Belum lagi habis kenangan tentang suasana Minggu itu, hari ini, tepatnya Rabu malam, Pak Hari menelepon suami saya. Ia mengabarkan bahwa akhirnya mereka memutuskan untuk membeli mobil yang sudah mereka putuskan bersama, dan bukan mobil yang dianjurkan oleh suami saya. Mereka merasa perlu memberi tahu dan minta maaf karena sudah sangat tertarik dengan pilihan mereka.

Tentu saja suami saya merasa aneh dengan permintaan maaf itu, karena ia hanya berusaha memberi pendapat dan saran, bukan memaksa, dan keputusan tetap ada di tangan mereka. “Paling tidak saya harus berterimakasih, karena dengan pendapat Anda kami mendapat pengetahuan tambahan dan pertimbangan-pertimbangan lain yang bisa memantapkan pilihan kami berdua,” begitu ungkapan Pak Hari pada suami saya.

Bukan Cari Dukungan
Tetapi pembicaraan telepon malam itu tidak berakhir dengan laporan tentang keputusan mobil yang akan mereka beli, karena Pak Hari masih minta pendapat suami saya mengenai anak perempuannya yang baru lulus SMU.
Ia dan isterinya berbeda pendapat tentang kelanjutan pendidikan anaknya yang cuma semata wayang itu. Bu Tiwi ingin agar Irma melanjutkan ke program D-3 Sastra, sedangkan Pak Hari lebih menginginkan Irma ke perguruan tinggi agar bisa jadi sarjana.

Dengan berbagai pertimbangan, karena kami kebetulan kenal kemampuan dan kebiasaan Irma (dia adalah teman sekelas anak kami) maka suami saya menyarankan Irma untuk mengikuti pendidikan D-3 untuk bidang komputer.
Meskipun saat itu reaksi Pak Hari terdengar kurang bahagia, tetapi nyatanya kami mendengar bahwa Irma akhirnya mengikuti kuliah D-3 komputer di salah satu institut komputer yang tergolong baik.

Pak Hari adalah contoh dari pribadi yang mampu bersikap kritis terhadap pandangan orang lain yang berbeda. Ia tidak selalu mengiyakan pendapat orang lain, tapi juga tidak selalu mengabaikan pendapat orang lain.
Ia mencari pandangan orang lain untuk memperkaya pertimbangannya, dan bukan hanya untuk mencari dukungan terhadap pandangannya. Bahkan ketika ia berbeda pendapat dengan istrinya, ia bukan mencari dukungan untuk pendapatnya, melainkan benar-benar untuk memperkaya bahan pertimbangan.

Second Opinion
Seperti Pak Hari kitapun kadang-kadang membutuhkan pandangan orang lain sebagai second-opinion dalam mengambil keputusan. Second-opinion atau pendapat lain tidak selamanya sejalan atau mendukung pendapat atau keputusan yang ada di benak kita.

Second-opinion bisa sangat bebeda atau bahkan bertentangan dengan apa yang ada dalam pemikiran kita. Namun demikian sebuah pandangan yang berbeda seringkali juga dapat membantu memberikan wawasan baru yang berguna dalam mengambil keputusan atau bertindak.

Second opinion bahkan tetap dibutuhkan ketika kita sudah sangat yakin dengan keputusan kita. Karena seringkali ketika terlalu lama bersibuk diri dengan suatu persoalan, kita jadi terjebak pada suatu jalan pikiran sehingga tidak mampu melihat adanya kemungkinan lain. Justru ketika kita telah sangat yakin dengan keputusan, ada baiknya mengundang second-opinion.

Memang ada kalanya second-opinion bisa membuat kita ragu-ragu. Tapi hal itu bukan alasan untuk secara sengaja menutup pintu bagi adanya suara yang berbeda. Dari dua pendapat yang tepat sama, tidak akan pernah ada saling melengkapi. Perbaikan dan perkembangan justru muncul karena adanya perbedaan. Itu sebabnya second opinion selalu dibutuhkan walaupun tidak selalu harus diikuti.



Sumber: Gaya Hidup Sehat
Wartawan: WID