Mengawali tahun 2006, penggemar infotainment dibuat geleng-geleng kepala. Dua ibu sama-sama menuduh anaknya yang menjadi aktris dan aktor itu durhaka. Masyarakat menangkap, ini bukan fenomena Malin Kundang. Fenomena apakah ini?
Pada umumnya ibu adalah sosok yang sangat melindungi anaknya. Namun, kali ini sang ibu justru bertindak menyerang anaknya sendiri yang telah sukses menjadi pemain sinetron. Apa pun kesalahan si anak, terasa aneh juga bahwa hal itu dibeberkan oleh ibunya sendiri di muka publik.
Dua kejadian luar biasa tersebut hampir berbarengan. Sampai ada warga yang menyebutnya sebagai fenomena "ibu durhaka". Hal ini cukup membuat kita berpikir: mau ke mana dunia ini berputar? Sepertinya ini merupakan tanda-tanda zaman (Jawa: ciri wanci). Pertanda apa?
Sudah barang tentu ini merupakan serpihan kondisi masyarakat kita yang sakit. Sebagian dari kita sudah tidak mampu lagi berfungsi sebagaimana mestinya secara sehat dan sesuai dengan peran yang diemban.
Infotainment & Ilusi
Infotainment merupakan media hiburan yang cukup berhasil merebut hati masyarakat. Selain hiburan, media ini juga menjadi dunia tersendiri bagi sebagian masyarakat yang membutuhkan perasaan terlibat dengan dunia sekelilingnya.
Melalui infotainment, masyarakat dapat merasa dekat dengan selebriti yang gaya hidupnya jauh di awang-awang, berbeda dengan masyarakat kebanyakan. Jarak yang jauh itu terjembatani oleh media massa. Masyarakat dapat merasakan seolah-olah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari para selebriti.
Selanjutnya mereka mengembangkan sikap-sikap tertentu, suka atau tidak, kepada tokoh yang ditampilkan seperti mereka berkomentar terhadap orang-orang yang dikenalnya. Lebih jauh lagi, gaya hidup para selebriti pun akhirnya diadopsi menjadi gaya hidup anggota masyarakat lainnya.
Namun, dalam hal ini penting untuk tetap membedakan antara impian dan kenyataan. Bagaimanapun, kita harus berpijak pada kenyataan: menerima diri apa adanya dan mengembangkan gaya hidup sesuai kemampuan sembari terus berusaha meraih apa yang diimpikan.
Perkembangan tidak sehat terjadi bila seseorang tidak bisa lagi membedakan antara impian dan kenyataan. Sebagai orang biasa yang tidak populer, ia merasa diri populer, mengharapkan perlakuan istimewa dari orang lain, bila perlu dengan "menuntut" dan menabrak etika.
Mimpi yang belum menjadi kenyataan, ada kalanya membuat seseorang frustrasi dan mulai menyalahkan orang lain. Dalam situasi ini orang terjebak ke dalam dunia subjektif: tidak mampu lagi merefleksikan berbagai situasi secara objektif; ego berfungsi kelewat ekstrem dalam mengejar kepuasan atas berbagai dorongan dari alam bawah sadar.
Dalam kasus artis sinetron yang dituding anak durhaka oleh ibunya sendiri, kita dapat bertanya: mungkinkah sang ibu telah mengalami ilusi? Sebagai pribadi yang seharusnya sangat dekat dengan anaknya yang populer, ketika hal itu tidak menjadi kenyataan, ia menjadi marah dan menyalahkan anaknya.
Kekuasaan Orangtua
Hubungan ibu dan anak merupakan hubungan yang khas. Dengan perannya mengasuh anak, biasanya anak mengembangkan ketergantungan dan kasih sayang yang kuat terhadap ibu. Persoalan menjadi lain ketika seorang ibu atau ayah tidak dapat mengembangkan perannya dengan baik, atau bahkan terpaksa menyerahkan tanggung jawab pengasuhannya kepada orang lain.
Tentu keeratan hubungan antara orangtua dan anak tidak berjalan sebagaimana mestinya. Terlebih ketika anak-anak telah dewasa, apalagi telah membangun rumah tangganya sendiri, hubungan itu semakin berjarak. Jarak hubungan yang lebih jauh antara orangtua dan anak ketika anak-anak sudah dewasa sebenarnya wajar, juga terjadi dalam keluarga-keluarga yang utuh dan harmonis. Ini merupakan konsekuensi logis karena anak telah mandiri.
Orangtua yang bijaksana tidak akan mempersoalkan hal ini. Bila mereka kangen atau merasa kesepian, hal itu tetap dapat diungkapkan dengan enak kepada anak-anaknya. Sebaliknya, si anak meskipun sibuk dengan dunianya, tetap menaruh kepedulian terhadap orangtuanya.
Kalau toh terjadi friksi dalam hubungan, orangtua yang bijaksana tetap mengharapkan kebaikan bagi anak-anaknya, bukan sebaliknya. Dalam situasi yang kurang umum karena pengaruh budaya paternalistik atau maternalistik dan kondisi mental yang kurang seimbang, hubungan orangtua dan anak dapat berubah menjadi hubungan kekuasaan.
Pasalnya, orangtua merasa telah berjasa dengan melahirkan dan membesarkan anak.
Di tangannya, anak itu dulu adalah makhluk lemah yang tidak berdaya dan sepenuhnya bergantung padanya. Ia pun merasa berkuasa atas anaknya. Selanjutnya ia merasa berhak mendapatkan apa saja yang kini dimiliki anaknya.
Atas dasar perasaan berkuasa itu orangtua merasa berhak menuntut dan memberikan hukuman apa saja ketika anaknya dirasa tidak melakukan kewajiban-kewajiban yang diharapkan oleh orangtuanya. Mungkin, inilah yang terjadi, mengapa sampai terjadi seorang ibu menista anaknya sendiri di hadapan publik.
Kekuasaan Infotainment
Bagi para selebriti yang menjadi bidikan infotainment, media ini ibarat madu dan racun bagi hidup mereka. Nama mereka dapat membubung, tetapi dapat pula terkoyak-koyak bila pemberitaan cenderung merusak citra.
Pemberitaan dengan cara apa pun melalui media massa memang sanggup menentukan nasib seseorang yang menjadi sasaran pemberitaan. Namun, bagi para artis dan keluarganya, infotainment sungguh efektif menaikkan popularitas, baik dengan citra positif ataupun negatif.
Demikianlah, infotainment memiliki kekuasaan menaikkan atau menjatuhkan nama para artis. Di sisi lain, demi kelangsungan hidupnya sendiri infotainment juga melakukan manajemen kesan. Ia menata sedemikian rupa tampilannya supaya masyarakat terus tertarik, bahkan penasaran.
Baru-baru ini di Harian Kompas diberitakan bagaimana artis cantik Diah Permata Sari menjadi kapok sebagai presenter infotainment. Ia tidak mau lagi karena harus tampil nyinyir sebagai penebar gosip, sesuai dengan narasi yang disiapkan oleh tim infotainment. Di atas kertas narasi inilah segala sesuatu dapat dibuat untuk memuaskan naluri penonton yang suka gosip.
Telah banyak cerita tentang bagaimana kehidupan keluarga seorang artis menjadi berantakan karena gosip yang ditampilkan infotainment. Ini berarti mereka telah terpancing oleh gosip yang menyangkut kehidupan perkawinan atau hubungannya dengan orang-orang tertentu. Belajar dari kejadian-kejadian tersebut, seharusnya para artis beserta keluarganya, dan juga penggemar infotaiment, lebih kritis dalam menanggapi gosip.
Faktor Internal & Eksternal
Dalam dua kasus artis sinetron yang dituding sebagai anak durhaka oleh ibunya sendiri, kita dapat berpikir kritis: mungkin ini juga berkat rekayasa. Kejanggalan-kejanggalan cukup tampak di sana, terutama bahwa alasan sang ibu menuduh anaknya durhaka tidak cukup kuat. Orang-orang lain di sekitar kehidupan mereka memberikan fakta yang sangat berbeda dengan yang dituduhkan oleh sang ibu sendiri.
Mengapa sang ibu sampai tega mencoreng nama baik anaknya sendiri? Bukankah itu darah-dagingnya sendiri? Bukankah fakta untuk menuduh durhaka itu tidak kuat? Bukankah seharusnya seorang ibu justru sangat bersyukur anaknya bisa jadi orang?
Ada dua kemungkinan yang menjadi penyebab: (a) faktor eksternal, yakni hasutan orang ketiga yang berkaitan dengan infotainment; (b) faktor internal, yakni adanya ketidakpuasan sang ibu terhadap hidupnya sendiri, terutama dengan membandingkan kesuksesan anaknya yang berhasil merebut perhatian publik.
Satu faktor saja rasanya tidak cukup menjadi pemicu kenekatan sang ibu untuk mencoreng nama anaknya sendiri. Oleh sebab itu, dua faktor tersebut tampaknya telah saling melengkapi, menjadi amunisi yang kuat untuk membalikkan logika. Demikianlah, dunia para bintang yang penuh kerlap-kerlip, sungguh mampu menjungkirbalikkan logika dan gaya hidup masyarakat yang telah merasa terlibat dengan mereka. Mereka dengan senang hati diseret ke dalam dunia infotainment untuk mengejar jarak yang jauh antara dirinya dengan sang bintang, kendati untuk itu harus menyakiti darah dagingnya sendiri.
Sumber: Gaya Hidup Sehat
Wartawan: M.M. Nilam Widyarini, MSi