Oleh: Rhenald Kasali *
BEBERAPA waktu lalu diberitakan seorang remaja perempuan tega membunuh teman sekelasnya. Tubuh temannya itu dibuang di tepi sebuah hutan dalam keadaan membusuk di dekat sepeda motornya.
Warga desa gempar karena tersangka adalah seorang remaja cerdas dan paling populer di sekolah. Hal serupa juga dialami seorang mahasiswi yang nyaris tewas di tangan temannya yang menumpang mobil sedannya. Penyerang ternyata juga seorang mahasiswi cerdas. Berita yang saya baca menyebutkan, mereka berkelahi berebut cowok yang sama, tapi setelah kejadian, si penyerang diberitakan menderita depresi hebat dan polisi menghentikan penyidikan. Teman-teman korban menyebut "perasaan dikalahkan"ada di balik kejadian tragis itu. Kedua kejadian itu mengingatkan saya pada peristiwa yang menggemparkan Desa Orinda di California, saat seorang remaja berusia 15 tahun menembak temannya.
Dia juga cerdas dan populer. Namun "merasa nol, tak ada apa-apanya" karena tetanggatetangganya relatif hidup lebih baik, dengan mobil, sepeda motor, dan rumah yang lebih bagus. Dia merasa tertekan dengan status ekonominya, sementara orang tua tetangga tampak penuh percaya diri, bahagia, dan teramat baik. Ketika ekonomi Indonesia membaik dan jumlah orang kaya membesar di negeri ini,tak banyak orang yang bisa berpikir bahwa jumlah orang miskin yang hidupnya semakin tertekan juga meningkat.
Mereka bukan hanya miskin materi, melainkan juga miskin tenaga dan kebahagiaan. Miskin mental, hidup tertekan saat dunia tak mengulurkan tangan dan mudah pecah.Bisakah kita melatih kemembalan bagi mereka?
Mentalitas Pemenang
Di atas mobil yang membawa saya pulang pada suatu petang yang basah, saya melihat ratusan sepeda motor yang marah.Mereka menggerung-gerungkan gas dan membunyikan klakson begitu keras saat sebuah mobil menutup jalan. Setiap kali mereka menunjukkan amarah, sulit bagi saya untuk tidak menaruh perhatian. Mata mereka yang tersembunyi di balik kaca plastik helm yang dipakai mendelik, melotot. Bibir menggerutu dan siap berkelahi.
Sopir saya memberi tahu bahwa rumah mereka masih sangat jauh dari titik ini. Dari Pondok Indah, sebagian menuju ke arah Karawang, sebagian lagi tinggal di Citayam, Bogor, dan bahkan lebih jauh dari itu. Dia memberi tahu saya bahwa teman-teman pengemudi motor yang dia kenal terpaksa menggenjot lalu-lintas agar sampai lebih cepat. Sudah hampir pasti, maut telah menjadi sahabat mereka. Dukun-dukun patah tulang yang saya kenal memberi tahu pasien mereka meningkat empat hingga enam kali lipat dalam tiga tahun terakhir. Pasien-pasien itu adalah pengendara sepeda motor.
Tegang,cemas,merasa tak berarti telah menemani hari-hari sebagian besar masyarakat kita. Dalam situasi itu, mati tak lagi dipikirkan. Pikiran mereka sama tegangnya dengan para remaja yang saya sebut di pembukaan tulisan ini. Pikiran mereka berbeda dengan sejumlah orang yang tetap bisa tersenyum dalam menghadapi kemiskinan. Seorang pak tua tukang tambal ban asal Medan menyediakan meja belajar beserta secangkir susu kepada anaknya yang duduk di bangku sekolah dasar.Atau seorang salesman yang setiap pagi begitu ceria menurunkan anaknya di Taman Kanakkanak Kutilang yang diasuh istri saya di beranda rumah kami.
Mereka hidup miskin, lantai rumahnya beralaskan tanah, atapnya bocor, dan lampu rumahnya remang-remang.Namun setiap sore istri mereka mengantar anak-anaknya belajar dan membaca di Rumah Baca. Saya mendengar anak-anak yang dulu belajar di rumah kami sudah ada yang kuliah di universitas yang dulu membesarkan saya. Ayah mereka semakin tua, tetapi mata mereka tetap bersinar,penuh harap agar anak-anak mereka maju dan berhasil. Mereka adalah orang-orang yang saya sebut bermental pemenang, seperti kata pepatah, "Winners never quit. Only quitters never win." Mereka tahu hidup tidak melulu dari kumpulan kemenangan dan kemenangan.
Bahkan masa kecil mereka dihadapi dengan penuh kepahitan,kumpulan dari kesulitan-kesulitan dan kekalahan. Pemenang bukan tak boleh dikalahkan, melainkan harus menerima kekalahan. Justru karena tahu apa artinya dikalahkan, mereka menjadi membal, tak mudah hancur seperti telur yang jatuh. Mereka bertarung untuk menang, bukan sekadar tak kehilangan. Mereka tahu menang itu tidaklah mudah. Butuh kerja keras, keuletan, dan risiko.
Bahkan menang tak bisa didelegasikan kepada orang lain. Lebih dari itu pemenang tak harus menang terus. Kalau kalah,yang penting kita bisa segera kembali bertarung. Bukan menangisi kekalahan, marahmarah, dan membalas dendam tiada henti. Sikap pemenang ini sering digambarkan Nick Voichick yang tak memiliki tangan maupun kaki, tapi dia bisa hidup bahagia, tetap ceria, dan memberi semangat kepada banyak orang. Dia sering mempertontonkan kepada anakanak muda betapa tidak enaknya jatuh ke bawah."Kalau Anda jatuh seperti ini, apa yang Anda lakukan?" "Bangun, ayo bangun! Tapi selalu saya katakan, bangun pakai apa? Anda bilang bangunlah dengan kaki dan tangan Anda.Tapi saya tidak punya apa-apa.
Bukankah dalam hidup ini suatu ketika Anda juga akan mengalami jatuh seperti saya dan sekalipun Anda punya kaki dan tangan,Anda akan merasakan seperti tak memilikinya? Maka apa yang Anda lakukan?" tanyanya. Anda pun mungkin akan menjawab, ya coba terus,"Saya sudah mencoba bangun dan belajar kembali tegak 100 kali.Tapi saya selalu gagal. Apakah yang harus saya lakukan?" Kalau saya mencoba 100 kali dan tetap gagal,apakah saya mampu berdiri? Tentu tidak.
Saya pun terus mencobanya. Meski 100 kali gagal, 110 kali saya coba berdiri lagi.Hanya kalau saya berhentilah, maka saya akan gagal. Setelah mencoba berkali-kali, saya menemukan caranya, seperti ini...."Dia pun mempertontonkan cara berdiri dengan menggunakan kepalanya yang dijadikan telapak tangan, lalu tubuhnya dilengkungkan. Ajaib.Dia bisa berdiri tegak.
Wirausaha = Kemembalan
Berkali-kali saya selalu mengatakan cara terbaik melatih entrepreneur bukanlah dengan menjadikan mereka berorientasi pada kekayaan atau pengetahuan. Namun latihlah mereka menghadapi kenyataan hidup,yaitu siap menerima kekalahan, kerugian, atau kesulitan-kesulitan.
Sebab entrepreneur adalah seorang pengambil risiko. Hidupnya berada pada tembok-tembok ketidakpastian.Ada masa senang, untung, kaya, tumbuh, dan bergerak ke atas, tapi ada pula masamasa sulit, tertipu, salah prediksi, rugi,miskin,turun,dan bergerak ke bawah.Pengalaman hidup itu tidak melulu bergerak ke atas, melainkan juga bisa berlawanan arah.
Tanpa kemampuan memembalkan diri, entrepreneur akan bernasib malang,sama seperti remajaremaja putri yang kisahnya saya angkat di awal tulisan ini.Mereka hancur seperti telur, tidak mampu keluar dari himpitan dan ketegangan, tidak berani menatap realitas dan terkurung dalam kesulitan. Apakah Anda membiarkan anakanak Anda hidup dalam kekalahan yang demikian? (*)
*) Rhenald Kasali, Ketua Program MM UI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan beri Komentar sehat dan membangun