Senin, 17 Desember 2007

Cerita Sebatang Pohon

Oleh : Jenny Jusuf

Salah satu wanita yang paling saya kagumi di dunia adalah Tante saya, a.k.a putri sulung dari 9 bersaudara yang menikah pada usia 18 tahun, langsung memiliki anak dan menjalani kehidupan yang tidak bisa dibilang mudah.

Beliau dan 8 saudaranya (termasuk Ibu saya) dibesarkan dalam kondisi serba kekurangan. Cerita yang paling sering saya dengar adalah sup kacang hijau yang dicampur banyak air dan es batu supaya encer, sebutir telur ceplok yang dibagi 6, bikin prakarya nebeng teman (bukan karena males ngerjain sendiri, tapi karena tidak punya uang untuk membeli bahan), berjualan es mambo, sampai nonton TV beramai-ramai di rumah seorang sepupu dan diolok-olok karenanya. Belum lagi Kakek saya yang sangat keras dalam mendidik anak.

Setelah menikah, kehidupan yang dijalani Tante saya tetap tidak gampang, karena beliau menikah dengan seorang pria yang supersederhana. Ia membesarkan ketiga anaknya dalam rumah mungil berlantai tanah yang kerap kebanjiran.

“Kalau banjir, Tante selalu was-was,” kisahnya. “Soalnya tiap habis banjir, suka banyak binatang masuk rumah.”

Binatang di sini, salah duanya adalah ular dan cacing-cacing kecil yang suka bersembunyi di lipatan kasur. Saking seringnya, beliau hafal suara gemersak yang ditimbulkan seekor ular. Tiap kali bunyi itu terdengar, mereka tidur dengan was-was dan esok paginya bergerilya membongkar rumah untuk mencari si ular. Sebelum anak-anaknya pergi tidur, Tante saya akan menelusuri jengkal demi jengkal kasur kapuk, memastikan tidak ada cacing yang melata di sana.

Begitulah beliau hidup. Sialnya lagi, Oom saya semasa mudanya adalah jelmaan Buto Ijo. Nyeremin. Emosi beliau sangat mudah terpancing, bahkan oleh hal paling sepele. Sebagai ayah yang sangat menyayangi anak, sifat perfeksionis dan temperamen meledak-ledak adalah kombinasi berbahaya. Oom saya sanggup mengomel dari terbit matahari sampai pada masuknya, hanya karena di tubuh anaknya terdapat SATU GIGITAN NYAMUK.

Bukan memar, bukan luka sobek, bukan goresan. Bukan sulap, buk... *ah, sudahlah* ;-D
Satu gigitan nyamuk cukup untuk membuat Oom saya naik darah sepanjang hari. Dan gigitan nyamuk yang sama sempat membuat Tante berniat mengajukan gugatan cerai karena tidak tahan dengan kelakuan si Oom.

Suatu siang, Tante mengamati anaknya yang sedang bermain dan nyaris bunuh diri melihat TIGA GIGITAN NYAMUK di wajah si bocah. Saking hebatnya gejolak batin itu *tsah*, rasa takut yang selalu muncul mendadak berubah menjadi kemarahan. Ketika Oom pulang, hal pertama yang dilakukan si Tante adalah membuka pintu lebar-lebar dan berseru sekeras-kerasnya,

“TUH! ANAK KAMU DIGIGIT NYAMUK LAGI! BUKAN SATU. TIGA! TUH LIAT BENTOLNYA TIGA!!! SEKARANG KAMU MAU APA?! MAU NGAPAIIIN???!!”

Shocked, Oom saya cuma bisa bengong dan berkata pelan,”Ya udah, mau diapain lagi…” -- yang disambut bahagia oleh Tante,

“NAH, GITU DONG!! KENAPA GAK DARI DULU NGOMONG KAYAK GITU.”

Hihihihihi.

Seiring bertambahnya usia pernikahan, lambat laun keduanya berubah. Pelan tapi pasti, Oom saya menjadi figur suami terpuji dan ayah teladan yang sabar dan sangat mencintai keluarga. Kehidupan mulai berbelok. Puluhan tahun setelah mengucapkan janji sehidup-semati dan tinggal di rumah berlantai tanah, mereka berhasil menghantar anak-anak meraih gelar Master di Negeri Paman Sam dan menggapai kesuksesan. Sekarang ketiga sepupu saya sudah menikah, dan Tante mulai menempuh fase baru dalam hidupnya: menjadi seorang nenek.

Oom dan Tante saya mengawali babak baru dalam hidup dengan serba kekurangan. Yang mereka punyai hanya benih dari spesies tumbuhan bernama Kasih Sayang, yang disirami dengan Kesabaran dan diberi pupuk Kebesaran Hati, hari demi hari. Kini pohon itu telah tumbuh kuat. Menaungi Oom dan Tante. Membuat mereka tak lagi rentan terhadap hujan dan sengatan matahari.

Saya tidak pernah bosan mendengar cerita-cerita Tante dan membiarkan imajinasi saya berkembang menjadi sebuah harapan yang semoga tidak terlalu muluk untuk diwujudkan.

Pernikahan saya nanti, mungkin bukanlah pesta mewah di hotel bintang lima yang biayanya setara dengan rumah 3 lantai, karena saya adalah manusia pelit yang lebih memilih punya rumah sendiri dan tabungan untuk membiayai pendidikan si kecil - kalau sudah punya anak nanti. Saya tidak ingin berkeluh-kesah karena tagihan kartu kredit yang tidak kunjung lunas (seperti yang diucapkan seorang teman kemarin, “Nikahnya kapaaan, lunasnya kapan.”), pun tidak ingin deg-degan saat merancang repelita anak saya kelak. (Akur, Jeng? ;-D)

Seandainya diberi kelebihan (dan kemudahan) untuk ‘hidup lebih leluasa’, puji Tuhan. Saya bukan tipikal sosok rendah hati pun baik budi seperti kontestan reality show yang ketika ditanya “Kalau menang, uangnya buat apa?” jawabannya adalah, “Buat bangun Gereja dan Mesjid.” Saya, seperti banyak perempuan lain di muka bumi, menginginkan pernikahan dan kehidupan yang lebih dari layak.

Tapi, di atas segalanya, yang paling saya dambakan adalah kehidupan pernikahan yang terus bertumbuh - seperti pohon yang berasal dari sebutir benih. Mungkin sederhana, tapi memiliki akar yang kuat.
Mungkin tidak sempurna, tapi dapat terus menjulang sampai menjadi pohon yang kokoh dan rindang.
Tidak goyah diterpa angin, tidak gentar menghadapi badai, tidak kalah melawan terik sang Surya, mampu memberi perlindungan bagi burung-burung kecil, dan meneduhkan siapa pun yang bernaung di bawahnya.

Semoga.