Sabtu, 15 Desember 2007

Bersediakah Kita Melapangkan Jalan Sang Lawan?

Melapangkan jalan bagi lawan kita. Tidak terdengar seperti gagasan
yang cerdas, bukan? Orang yang mempunyai kecanggihan berpikir
pasti tahu bahwa melapangkan jalan bagi lawan-lawan kita hanya akan
menyebabkan kita kalah dalam persaingan. Kalaupun kita melakukannya,
maka harus dipastikan terlebih dahulu bahwa jalan yang kita
lapangkan untuk lawan-lawan kita itu menuju ke sebuah jurang
kehancuran. Jika jalan itu menuju kepada kejayaan, mengapa mesti
dilapangkan untuk sang lawan? Logika berpikir kita seharusnya justru
mengatakan untuk menjegal setiap langkah lawan dijalan itu. Kita
harus memastikan bahwa jalan menuju kejayaan semacam itu hanya boleh
dilewati oleh kita saja.

Melapangkan jalan bagi lawan kita. Agak terdengar seperti sebuah
perumpamaan. Mungkin memang itu tidak lebih dari sekedar kiasan
belaka. Bisa iya. Bisa tidak. Secara harfiah bisa berarti
melapangkan jalan dalam arti sebenarnya. Kebalikannya, menjegal
jalan lawan dalam arti sesungguhnya. Hari senin yang lalu, saya
mendapatkan contoh nyata tentang hal ini. Kantor tempat saya bekerja
terletak didaerah Semanggi. Daerah three in one dong, ya kan. Setiap
mobil yang berpenumpang kurang dari 3 orang, tidak boleh melewati
jalur utama dikawasan itu pada jam 07.00 ?10.00 pagi, dan jam
16.30 -19.00 sore. Untuk masuk atau keluar gedung (Y) pada jam-jam
seperti itu, kami harus memutar, dan melintas didepan gedung lain
(Z) yang terletak dalam satu komplek. Oleh karena itu, fasilitas
parkirpun dikelola dalam sistem yang sama.

Senin itu, tidak seperti biasanya. Ketika saya melintas didepan
gedung Z, saya dicegat Satpam. Dengan heran saya bertanya: "Ada apa,
Mas?" Dan dengan ragu-ragu Satpam itu berkata: "Maaf Pak, Bapak
sudah tidak boleh melintasi jalan ini lagi...." Dari caranya
berbicara, saya tahu; hati nurani Pak Satpam itu sedang berperang
sendirian. Tapi, dia kan hanya menjalankan tugas. Jadi saya dapat
memahaminya. Saya tidak ingin bertengkar, toh bukan hanya saya yang
diperlakukan seperti itu. Semua pengendara yang melintas didepan
gedung Z itu juga diperlakukan sama.

Ketika saya memutar, saya menyadari, bahwa sepanjang jalur yang
biasa kami lewati, ternyata sudah dipasang tiang besi yang disemen
ke lantai. Wuah, saya pikir; ada apa nih? Saya tidak mendapatkan
jawaban apapun hingga pada sore harinya, management gedung Y
mengirim surat resmi kepada seluruh penghuni. Intinya meminta maaf
bahwa hari ini ada penutupan akses yang biasa kami gunakan. Menurut
surat itu, penutupan dilakukan managment gedung Z setelah selama
seminggu sebelumnya negosiasi tidak membuahkan kesepakatan positif.
Deg! Hati saya berdegup. Ada perselisihan antar management gedung,
rupanya. Dan perselisihan itu sampai menutup jalan masuk bagi orang-
orang yang perlu lewat.

Dipagi hari, masih ada alternatif jalan memutar untuk masuk ke
gedung Y. tetapi, disore hari, sama sekali tidak ada akses, kecuali
berhadapan langsung dengan polisi yang menjaga ketat jalur three in
one. Karena jalur keluar satu-satunya melewati bagian belakang
gedung Z sama sekali tidak bisa dilewati mobil. Alhasil, management
gedung Y membongkar pagar hidup meski mesti mengorbankan beberapa
pohon menghijau ditumbangkan. Lalu, melalui jalur curam, sempit lagi
miring itulah orang-orang bisa melintas. Jika tidak terampil,
pengendara bisa tergelincir. Apalagi mobil-mobil besar seperti truk
para pemasok barang yang benar-benar harus menanggung resiko
terbesar.

Begitulah gambaran harfiah jegal menjegal jalan lawan berlangsung.
Gedung-gedung perkantoran paling mahal sekalipun tidak luput dari
kejadian semacam itu. Biarpun dihuni oleh perusahaan-perusaha an
besar kelas dunia. Bahkan beberapa diantaranya listed dalam Fortune
500. Ada beberapa konsulat negara-negara tetangga juga disana. Hal
semacam itu bisa terjadi juga.

Mari sekarang kita lihat makna kiasannya. Dalam bisnis, persaingan
tidak jarang diwarnai oleh saling jegal antar kompetitor. Dan
rupanya, masih banyak pelaku bisnis yang berpikir bahwa cara terbaik
untuk memenangkan persaingan adalah dengan mengalahkan lawan-lawan
bisnis mereka. Logika berpikir seperti ini, sekilas ada benarnya
juga. Tetapi, bagi orang-orang tercerahkan seperti Professor Chan
Kim; kemenangan tidak selalu bisa diraih melalui pertarungan
berdarah-darah seperti itu. Bahkan, kemenangan terbesar sebenarnya
tidak terletak pada pertarungan saling mengalahkan, melainkan saling
menumbuhkan satu sama lain. Melalui prinsip saling menjegal untuk
mengalahkan, semua orang hanya akan memperebutkan kue kecil meski
mesti berlumuran darah. Dan dengan darah itu, lautan pun bisa
berubah menjadi merah. Menjadi the red ocean.

Sedangkan, dengan prinsip saling melapangkan jalan untuk menumbuhkan
satu sama lain; kemenangan menjadi milik semua orang. Untuk menang,
kita tidak harus menumpahkan darah. Sehingga setiap orang bisa sama-
sama untung pula. Market berhasil dikembangkan, dan total bisnis
menjadi semakin besar. Lautan, tidak akan menjadi keruh karena
pertempuran. Airnya akan tetap terlihat biru, sebagai tanda
tersimpannya potensi yang nyaris tak berbatas. Karena setiap orang
yang bersedia melapangkan jalan bagi lawan-lawannya, sesungguhnya
tengah berenang dalam sebuah dunia luas yang disebut blue ocean. Dan
bahtera tempatnya mengarungi samudera biru itu bernama the blue
ocean strategy. Begitulah yang diajarkan oleh Profesor Kim kepada
kita.

Dalam hubungan antar manusia, kita juga sering melihat orang yang
saling jegal. Entah karena persaingan memperebutkan calon pasangan
hidup. Atau perebutan kursi kekuasaan. Atau sekedar ingin
mendapatkan pujian dari atasan; orang bisa menjegal orang lain.
Fanatisme terhadap seseorang atau kelompok tertentu, bisa juga
menjadi penyebab lainnya. Percayalah, kita tidak akan pernah
kehabisan alasan untuk menjegal lawan. Tetapi, apakah kita mesti
selalu demikian?

Memberi jalan kepada lawan. Mengapa tidak? Jika setiap orang
berpikiran demikian, maka didunia ini tidak akan pernah ada orang
yang terjegal, lalu terjungkal. Setiap orang, justru akan
mendapatkan jalan sesuai haknya masing-masing. Bahkan, ketika setiap
orang saling mempersilakan lawannya untuk melintas dijalan miliknya;
permusuhan berubah menjadi persaudaraan yang menghasilkan
kesejahteraan bersama.

Ada yang bilang; jika kita berdada lapang, orang lain bertindak
curang! Mungkin bisa demikian. Tetapi, jika dengan lapang dada itu
kita mencapai kemuliaan, hingga Tuhan berkenan menyukai jalan yang
kita tempuh; mengapa kita harus takut dengan kecurangan orang?
Karena, konon Tuhan pernah berfirman bahwa sesungguhnya orang-orang
yang berbuat curang, tidak mencurangi siapapun kecuali dirinya
sendiri.

Kita tidak ingin mencurangi diri sendiri, bukan?

Dadang Kadarusman
http://www.dadangka darusman. com/

Catatan Kaki:
Lapangkan jalan bagi lawanmu, maka Tuhan melapangkan jalanmu menuju
keabadian cinta dan kasih-sayangnya. ....