Kompas
SEORANG ibu sempat merasa habis akal menghadapi anak sulungnya, yang menurut dia amat keras kepala dan egois. Kalau si anak menginginkan sesuatu, hal itu seakan harus segera terwujud.
Ketika si ibu berbicara panjang lebar dengan harapan si anak paham alasannya menolak keinginan si anak, yang muncul justru kemarahan si anak.
ANAK perempuan itu merasa ibunya tak mau memahami dirinya, dan cenderung hanya menyalahkan dia saja. Sementara orangtuanya merasa malas bicara dengan si anak untuk sementara waktu karena merasa lelah sehabis marah-marah. Menurut si anak, ibunya cenderung hanya memerhatikannya saat dia di mata ibunya membuat kesalahan. Padahal, dia merasa sudah berusaha mengerjakan kewajibannya semaksimal mungkin.
"Konflik semacam itu biasanya dimulai dari hal sehari-hari, yang bisa berkepanjangan kalau tidak segera dicarikan jalan keluarnya. Apalagi kalau orangtua suka membandingkan kondisi anaknya itu dengan anak yang lain, atau bahkan dengan dirinya sendiri saat seusia anaknya," kata dr Aisah Dahlan pada seminar dan pelatihan "Parenting Skill Training" di Perguruan Islam Al-Izhar Pondok Labu, Jakarta, Rabu (14/4).
Mengibaratkan orang bercermin, biasanya yang dilihat orang adalah keburukan dari dirinya di depan cermin. Misalnya, merasa hidung kurang mancung atau kulit tidak mulus merata. Jarang orang memerhatikan kebaikan pada dirinya. Hal serupa biasanya juga berlaku ketika orang melihat individu lain, entah itu teman, pasangan, atau anak. Seseorang cenderung melihat keburukan atau kekurangan orang lain, bukan sebaliknya.
Dari pengalamannya sebagai konselor pencandu narkoba, Aisah mendapati bahwa salah satu unsur yang penting dalam hubungan antarmanusia, terutama antara orangtua dan anak, adalah memahami tipe kepribadian masing-masing individu. Dengan pemahaman pada kelebihan dan kekurangan individu itu, diharapkan komunikasi bisa terjalin lebih baik.
"Personality atau kepribadian itu hanya salah satu unsur dari perilaku. Selain kepribadian, perilaku seseorang itu juga dipengaruhi oleh fungsi yang beragam, dan lingkungan yang juga berbeda-beda. Kalau fungsi dan lingkungan, banyak sekali variasinya, seperti pola asuh, budaya, pendidikan agama, dan umur. Maka kepribadian itu seperti anatomi tubuh, ada wujud alamiahnya dan unsur genetikanya. Ini bisa dipelajari," tutur Aisah yang juga menjabat sebagai Kepala Unit Narkoba RS Bhayangkara Sekolah Lanjutan Perwira (Selapa) Lembaga Pendidikan dan Pelatihan (Lemdiklat) Polri.
Pengenalan tipe kepribadian akan membuat orang lebih mudah berinteraksi dengan orang lain, sekaligus bisa lebih memahami dirinya sendiri. "Dalam hubungannya dengan anak, tanpa pengetahuan pada tipe kepribadian, bisa sering terjadi konflik, kebutuhan emosi anak tidak terpenuhi, dan orangtua tetap pada cara membandingkan si anak dengan individu lain. Jadinya akan kontraproduktif," ujarnya.
MENGUTIP beberapa penelitian di luar negeri, Aisah mengatakan bahwa unsur genetika itu tidak hanya diturunkan orangtua pada ciri fisik anak, tetapi juga pada kepribadiannya. Jadi, kepribadian yang muncul pada diri anak sebenarnya merupakan "cermin" dari orangtuanya.
Mencermati apa yang dikemukakan penulis asal AS, Florence Littauer, Aisah mengatakan, ada empat tipe kepribadian dasar yaitu: Sanguinis (kepribadian populer), Koleris (kepribadian kuat), Phlegmatis (kepribadian damai), dan Melankolis (kepribadian sempurna).
Masing-masing tipe kepribadian dasar itu punya kelebihan dan kekurangan. Misalnya, orang bertipe kepribadian Sanguinis biasanya ekspresif dan suka bicara, sedangkan orang Koleris umumnya impulsif dan suka mengontrol. Adapun orang yang berkepribadian Melankolis biasanya menghendaki segalanya sempurna dan orang Phlegmatis cenderung lebih santai dan cinta damai.
"Tujuan utama orang Sanguinis adalah populer, sedang orang Melankolis suka bekerja secara kronologis dan sempurna. Maka, jangan heran kalau anak Anda ada yang suka memencet odol seenaknya saja, sementara anak yang lain begitu rapi memencet odol mulai dari bagian ujung terdalamnya," ujar Aisah.
Namun, ada pula individu yang berkepribadian campuran dari tipe-tipe dasar tersebut. Misalnya, berkepribadian campuran tipe Sanguinis dan Koleris dengan ciri, antara lain mudah bergaul dan optimistis, atau campuran antara Phlegmatis dan Melankolis yang menghasilkan individu dengan cara bicara lembut dan tidak pemarah.
"Setiap individu sebaiknya mengenali dirinya termasuk tipe kepribadian dasar yang mana, apa kelebihan dan kekurangannya. Setelah memahami diri, biasanya orang akan dengan mudah pula memahami kepribadian orang lain. Dengan demikian, kemungkinan konflik bisa dijauhkan," kata Aisah.
Aisah mencontohkan, pada anak berkepribadian Sanguinis, orangtua bisa mendekatinya dengan memberi pujian lebih dulu, baru ditunjukkan kesalahan atau kekurangannya. "Kalau Anda langsung marah-marah pada anak Sanguinis, dia akan merasa diserang. Anak Sanguinis suka dipuji, jadi lebih efektif kalau Anda memuji dulu kelebihannya, baru tunjukkan kesalahan atau kekurangannya," tuturnya.
Kalau anak Sanguinis suka dipeluk, anak bertipe Koleris sebaliknya. Dia akan merasa risih dan menganggap orangtua memperlakukannya bak kanak-kanak. "Anak Koleris biasanya spontan, tidak suka hal monoton, tidak emosional, suka mengatur, dan punya komitmen tinggi," kata Aisah menambahkan.
Sementara orang bertipe Phlegmatis cenderung suka menunda-nunda pekerjaan, tidak merasa perlu banyak bicara, dan cinta damai. "Misalnya si ibu mengatakan A, maka anak Phlegmatis cenderung langsung mematuhinya. Namun, untuk anak Koleris, mungkin diperlukan sikap yang lebih tegas daripada sekadar memberitahu dia," ujarnya. (CP)