Jika perusahaan Anda sedang berkembang dan mampu membuat sistem kompensasi yang adil dan menarik, serta didukung oleh kesempatan karir yang jelas, maka tidak sulit bagi Anda untuk menghidupkan motivasi para karyawan. Namun bagaimana jika kenyataannya adalah sebaliknya?
Bagi banyak perusahaan, kondisi ekonomi saat ini tidak memberikan keleluasaan yang cukup untuk menempatkan kesejahteraan dan aktivitas pengembangan SDM sebagai prioritas utama. Selain itu, tidak semua perusahaan mampu (atau peduli) untuk membuat sistem pengembangan SDM yang baik. Di sisi lain, karyawan terus dibayang-bayangi rasa cemas akan pemutusan hubungan kerja atau ketidakpastian kompensasi yang layak. Apalagi dengan semakin beratnya beban hidup yang harus mereka pikul, makin membuat karyawan semakin jauh dari unjuk prestasi.
Pada saat ini kita bertanya, kenapa semuanya menjadi loyo ketika semangat berjuang justru sedang sangat kita butuhkan? Bagaimana kita bisa membuat karyawan kita menampilkan prestasi terbaiknya disaat segala sesuatunya serba memprihatinkan? Kini saatnya kita meluangkan waktu sejenak untuk refleksi. Mungkin ada yang salah dengan cara kita mengelola karyawan selama ini.
Apa yang salah dengan pendekatan kita?
Setidaknya ada tiga hal yang bisa kita jadikan bahan renungan. Pertama, ada yang salah dengan pendekatan kita dalam mengembangkan potensi karyawan. Sistem pengembangan SDM beserta model penilaian kinerja yang kita kembangkan di perusahaan hanya mengukur dan mendorong pada pencapaian vertikal saja. Vertikal artinya mendorong karyawan untuk meraih prestasi yang lebih tinggi tingkatannya - biasanya berbentuk 4-TA, yaitu harta (gaji atau insentif finansial yang lebih banyak), tahta (jabatan yang lebih tinggi), kata (ilmu atau keterampilan yang lebih baik), dan cinta (popularitas).
Prestasi yang lebih tinggi itu bagus, tetapi tidak cukup. Selain dimensi vertikal, manusia secara kodrati juga memiliki dimensi horisontal berupa dorongan untuk membantu dan memberi manfaat untuk orang lain dan lingkungan sekitarnya. Sementara dimensi vertikal cenderung egosentris (self-centered), dimensi horisontal bersifat filantropis (public-spirited). Itu sebabnya dalam konsep Kubik, pencapaian terbaik manusia selalu terkait dengan dua kata, yaitu ?sukses? dan ?mulia?. Sukses berdimensi vertikal, sedangkan mulia berdimensi horisontal. Kesuksesan telihat dari seberapa tinggi 4-TA yang berhasil diraih, sedangkan kemuliaan terlihat dari seberapa besar manfaat yang bisa diberikan untuk orang lain dan lingkungan sekitarnya.
Sayangnya, budaya dan sistem kerja yang terlanjur kita kembangkan di perusahaan merupakan hasil impor dari budaya dan sistem kerja barat yang cenderung hanya berorientasi vertikal. Semua orang didorong untuk meraih prestasi setinggi-tingginya tetapi tidak untuk menunjukkan nilai kebermanfaatannya untuk orang lain dan lingkungannya. Dalam budaya seperti ini, kata ?kemuliaan? adalah sesuatu yang asing. Ia bahkan tidak pantas disebut dalam bilik-bilik ruang perkantoran.
Akibatnya karyawan cenderung untuk mendahulukan kepentingannya sendiri. Mereka fokus pada apa yang bisa mereka raih, bukan apa yang bisa mereka berikan. Manusia menjadi terisolasi, sibuk dengan pencapaian vertikalnya sendiri. Bahkan dalam kondisi tertentu bisa membuahkan persaingan yang destruktif. Atasan menzalimi bawahannya, karyawan mengkhianati teman kerjanya. Pimpinan memperkaya diri, sementara anak buah berlaku anarkis.
Jadi jangan heran bila masa sulit datang di perusaaan Anda, maka yang pertama kali terpikirkan oleh karyawan Anda adalah, ?bagaimana saya bisa menyelamatkan diri??, ?Bagaimana supaya semua kepentingan saya tidak terganggu??. Mereka tidak berpikir, ?apa yang bisa saya lakukan untuk membantu perusahaan saya?? Jika saat ini Anda berpikir bahwa keinginan karyawan untuk membantu perusahaan di masa sulit adalah sesuatu yang terlalu idealis, saya bisa memahaminya. Mungkin Anda sudah terlalu lama berada dalam lingkungan kerja dimana kemuliaan merupakan sesuatu yang asing.
Kedua, ada yang salah dengan cara kita memotivasi karyawan. Kita sudah terlanjur menciptakan hubungan erat antara prestasi dengan kompensasi. Antara sukses dan pencapaian materi. Seorang karyawan yang berhasil menyelesaikan sebuah proyek besar yang dipercayakan padanya belum dianggap sukses apabila tidak disertai dengan kenaikan jabatan atau bayaran yang tinggi. Setiap prestasi harus ada kompensasi finansialnya. Dan inilah cara kita memberikan motivasi pada karyawan kita.
Akibatnya, karyawan menjadi transaksional dalam bekerja. Semuanya jadi serba hitung-hitungan. Segala sesuatu yang tidak memiliki dampak finansial tidak layak untuk dikerjakan. Ketika mereka bekerja, mereka akan membatasi upaya mereka sesuai dengan bayaran yang mereka terima. Tidak lebih. Dalam kondisi ini, karyawan telah direduksi menjadi binatang ekonomi. Segala sesuatu selalu dipandang dari nilai rupiahnya. Jadi ketika perusahaan tidak mampu memberikan kompensasi finansial yang memadai, untuk apa mereka bekerja mati-matian?
Ketiga, ada yang salah dengan fokus kita dalam menyelesaikan masalah. Bayangkan diri Anda berada diatas sebuah sampan rapuh yang terbawa arus sungai menuju sebuah jurang yang curam. Saat itu Anda berpikir, ?ada sesuatu yang salah dengan sampan ini?. Kemudian Anda berupaya keras untuk memperbaiki sampan itu. Anda menambal semua sudut-sudut sampan yang berpeluang bocor. Membuang semua hal yang bisa membuat sampan tidak stabil. Bahkan Anda memodifikasinya sedemikian rupa supaya sampan itu menjadi lebih nyaman. Setelah semua selesai, Anda berkata, ?saya telah melakukan semua yang diperlukan untuk menjamin keselamatan saya. Apa lagi yang mungkin salah??.
Arus sungai dan jurang. Itu masalahnya! Terkadang kita gagal melihat inti permasalahan yang sesungguhnya karena kita terlalu sibuk mengotak-ngatik isu-isu teknis sepanjang jalan. Sebagai orang yang diberi tanggung jawab untuk mengelola karyawan, kita seharusnya lebih banyak meluangkan waktu untuk memikirkan kemana SDM ini akan kita bawa. Apakah pengembangan SDM kita sudah memiliki arah yang tepat? Kalau sudah, apakah jalur yang digunakan sudah benar? Kegagalan kita untuk menemukan solusi esensial untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa berakibat fatal untuk perusahaan.
Lalu bagaimana kita menjadikan tempat kerja kita sebagai wadah yang baik untuk menumbuhsuburkan sukses dan kemuliaan hidup? Bagaimana cara kita membuat karyawan menampilkan prestasi terbaiknya dan pada saat yang sama juga nilai kebermanfaatannya pada orang lain dan lingkungan sekitar?
Jawabannya adalah kita harus mengembalikan karyawan kita pada kodratnya sebagai manusia. Dimensi vertikal dan horisontal mereka harus kita dorong dan kembangkan secara bersamaan. Ingat bahwa sukses dan mulia bukanlah pilihan. Sukses dan mulia adalah dua sisi dari satu mata uang. Keduanya tidak berkompromi. Keduanya harus sama-sama 100%. Dengan menggabungkan keduanya berarti kita telah menciptakan perpaduan yang sempurna dari akal dan kalbu kita. Ketika seseorang telah berada pada tingkatan ini, maka dia akan menemukan kekuatan dirinya yang sesungguhnya.
Dia tidak akan mudah goyah ketika diterpa berbagai masalah dalam hidup dan pekerjaan. Dia tidak bekerja hanya untuk uang, tetapi sebagai wujud dari kemuliaan yang ada pada dirinya. Dia selalu terdorong untuk meraih prestasi yang lebih tinggi, karena dengan begitu dia bisa memberi manfaat yang lebih banyak.
Kinilah saatnya kita hadirkan kemuliaan di tempat kerja kita.
Posted by DJODI ISMANTO