Rabu, 31 Oktober 2007

Lepaskan, Bagaikan Anak Panah

Oleh : Henry Basuki - Pengamat Budaya

Anak merupakan tumpuan harapan kita. Dia dilahirkan untuk dirawat. Sewaktu kecil perlu dilindungi walau dia memintanya. Lain halnya bila kita ingin berlindung di bawah pohon. Kita aktif "minta" dilindungi karena datang di bawah pohon termaksud.

Mengapa masalah perlindungan demikian ini lain kasusnya tidak ada orang yang tahu. Katanya "khoderat"

Bila anak mengalami ketakutan, ibu senantiasa mendekapnya. Bila memerlukan sesuatu ibu berusaha untuk mendapatkannya. Demikian besar cinta kasih ibu serta pengorbanan yang diberikan sebagai "titah" kehidupan. Ini merupakan kenyataan tanpa mendiskeditkan peranan ayah yang juga tidak dapat diabaikan. Hanya "titah"nya yang berlainan.

Bila anak menderita sakit, orangtua berusaha membuatnya sembuh. Saya baru saja menjumpai Suti, seorang ibu yang mempunyai anak menderita sakit sejak lahir. Untuk pengobatannya telah menghabiskan biaya yang cukup tinggi hingga rumah miliknya dijual sebagai pengganti biaya. Dia ingin anaknya sembuh, namun apa mau dikata, anaknya meninggal dalam waktu yang tidak begitu lama. Dia harus rela melepaskan anaknya karena kematian, tetapi hal itu tidak mudah. Dia menginginkan kehidupan anaknya, sehingga tidak mudah menghilangkan kesedihannya.

Suatu hari saya bertemu Sumi, seorang nenek yang tidak mempunyai anak kandung. Sejak muda dia ditemani cucu keponakan yang diasuhnya seperti anak sendiri. Kini Sumi sudah uzur, sering menderita sakit. Dia menceriterakan kepada saya bahwa dia sakit hati terhadap cucunya. Ketika kecil si cucu dirawat dengan susah payah, sekarang bila Sumi sakit kurang dirawat olehnya. Dia lebih mengurus istri dan anaknya. Dirasakan si cucu telah melupakan dirinya.

Beberapa hari sebelumnya saya juga bertemu dengan sang cucu. Dia mengeluh mengalami kesulitan merawat neneknya. Diceriterakan suatu hari raya Idulfitri, si nenek pernah "menghilang" ketika cucunya sekeluarga datang. Rumahnya dikunci, kuncinya dititipkan tetangga, dan menantilah sang cucu sekeluarga di rumah kosong hingga neneknya pulang.

Lain halnya yang saya jumpai pada Budi, seorang ayah. Istrinya menderita sakit sementara anak tunggalnya yang baru menikah berada di lain kota yang jaraknya sekitar 800 km. Beberapa waktu istrinya rawat inap di rumah sakit, sang ayah menelpon anaknya. Dia minta anaknya segera datang untuk merawat ibunya. Menurut pendapatnya, si anak sudah lebih mementingkan istri daripada ibu yang dulu mengusuinya. Selama anak lelakinya belum datang, batinnya sangat sedih memikirkan anak yang menurutnya kurang ajar.

Dari tiga kasus di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa masih ada orang yang tidak memahami kehidupan.

Kita wajib menyadari bahwa sesuatu yang ada suatu ketika akan hilang, karena keberadaanya juga berasal dari yang tidak ada.

Seorang ibu, ayah, dan siapa saja "tertitah" untuk memelihara kehidupan. Dengan demikian tidak selayaknya mengharapkan balas jasa dari mereka yang "dipelihara" kehidupannya.

Dulu sewaktu kecil kita dirawat dan dilindungi oleh orang tua dan orang-orang yang lebih tua. Mereka melakukan hal ini karena punya rasa cinta pada kehidupan. Dengan demikian, para perawat hendaknya merawat dengan tulus, seperti tulusnya matahari memberikan sinar yang diperlukan untuk kehidupan kita. Bagaikan tulusnya bumi memberikan air untuk keperluan kita, demikian juga sebagian "milik" kita seyogyanya diberikan kepada sesama untuk memelihara kehidupan.

Bila kehidupan kita dipenuhi "keterikatan" yang sifatnya "menagih" balas jasa, maka kehidupan ini terasa tidak tenang dan tidak tentram. Kita akan merasa punya "pihutang" yang belum dibayar, Kita akan terikat oleh "pihutang" tersebut dan bila saatnya menutup mata dan tidak bernafas untuk selamanya, keterikatan masih belum putus. Ada kemungkinan kita bisa menjadi "setan gentayangan" di rumah sendiri karena masih "menagih" pada anak cucu agar "membayar" kebaikan yang kita berikan.

Lepaskanlah semua anak kita bagaikan melepaskan anak panah. Anak yang sudah berumah tangga, punya kewajiban terhadap istri/suami serta anak-anaknya sendiri. Dia berada pada sasaran masa depan.

Tidak selayaknya orangtua menuntut perhatian anaknya setelah dewasa. Walau kita punya sasaran masa depan untuk anak-anak maupun generasi penerus, sasaran tersebut akan tepat memenuhi keinginan bila kita punya kemampuan untuk mengarahkannya.

Takarlah kemampuan untuk melepaskan anak panah. Jaman mengalami kemajuan dan masa depan anak-anak terwujud berdasarkan proses kehidupan manusia itu sendiri.

Jangan inginkan anak menjadi seperti kita, mereka harus lebih baik dari kita.

Lepaskanlah anak panah agar punya manfaat bagi kemajuan teknologi masa depan dengan menghilangkan keterikatan kita pada mereka. Dengan bekal keluhuran budi serta keteladanan, dia tidak akan melupakan kita. Itulah sebabnya kita wajib bekali anak-anak dengan moral etik, budi pekerti, pemahaman agama serta keteladanan. Sebaliknya bila kita tidak bekali dengan keluhuran budi dan keteladan, masa depan menjadi carut marut. Bila kita sekarang menghadapi keadaan tidak menyenangkan sebagai akibat dari perilaku masa lampau, marilah kita tingkatkan keluhuran dan keteladanan agar masa depan tidak semakin menyedihkan.