Senin, 15 Oktober 2007

Membakar Dosa Korupsi

Kemajuan teknologi multimedia memberikan kemudahan
kepada kita untuk menyimpan data dalam bentuk cakram
padat (compact disc) dan juga mengganti simpanan
data itu dengan data baru yang kita inginkan. Data
lama itu pun lalu terbuang sama sekali dan
digantikan dengan data baru. Proses itu sangat biasa
dikenal dengan istilah burning (membakar).
Ramadan, dalam bahasa Arabnya, terambil dari kata
ramidla・ Kata ini memiliki makna leksikal
membakar・ yang dalam bahasa teknis multimedia
kontemporer disebut dengan istilah burning.


Sesuai dengan kandungan makna di atas, Ramadan
menyediakan fasilitas kepada kita untuk membakar
buramnya data-data spiritual-keagamaan kita yang
selama ini telah terekam dalam jejak kehidupan kita.


Penyediaan fasilitas itu digambarkan oleh hadits
seperti ini. Bahwa Ramadan itu bagian awalnya
menyediakan fasilitas rahmat, tengahnya adalah
ampunan, dan akhirnya adalah pembebasan dari api
neraka. Dengan demikian, melalui fasilitas rahmat,
ampunan dan pembebasan, Ramadan menyediakan medium
yang seluas-luasnya kepada kita untuk membakar rekam
jejak spiritual-keagamaan yang masih buram.


Ramadan dan Korupsi
------------ --------- --
Dengan fasilitas pembakaran (burning) data model
Ramadan di atas, pertanyaannya kemudian, masihkah
ada yang tersisa dari data buram kita yang tidak
terbakar dan kemudian tidak merubah kita untuk
menjadi saleh di hadapan ilahi? Jawabannya, jelas
ada. Kesalahan dan dosa sosial tidak bisa dibakar
oleh fasilitas burning model Ramadan. Puasa Ramadan
tidak serta merta membuat buramnya rekam jejak
sosial kita terhapus atau terbakar dengan
sendirinya.

Kesalahan ataupun dosa yang terkait dengan aspek dan
hak-hak kemanusiaan (yang dalam bahasa teknis agama
disebut dengan huququl adami) tidak bisa
diselesaikan melalui mekanisme spiritual yang
berdimensi vertikal dengan Tuhan, seperti puasa
Ramadan. Rekam jejak sosial kita yang buruk tidak
terjangkau oleh mekanisme pembakaran seperti ini
kecuali diselesaikan pula dengan mekanisme sosial
yang sama.

Apa yang dinamakan kesalahan itu berdimensi
pelanggaran atas norma dan hak-hak kemanusiaan.
Contohnya adalah pelanggaran pidana dan perdata.
Bentuk konretnya di antaranya termasuk kriminal.
Sedangkan dosa merupakan akibat spiritual yang
ditimbulkan oleh pelanggaran atas norma dan hak-hak
kemanusiaan tersebut.


Salah satu contoh riil, yang kini banyak
memporakporandakan bangunan peradaban, kebangsaan,
dan kenegaraan Indonesia, adalah korupsi. Praktik
korupsi sangat erat berkaitan dengan pelanggaran
norma dan hak-hak kemanusiaan. Uang rakyat yang
sedikit demi sedikit dikumpulkan untuk kepentingan
pengelolaan negara dan kebajikan publik diembat
untuk kepentingan pribadi maupun golongan. Sebagai
dampaknya, pengelolaan politik kebijakan publik
diselenggarakan melalui mekanisme transaksi
personal, bukan publik. Ujungnya, rakyat yang
dirugikan oleh praktik semacam ini.


Bangunan peradaban, kebangsaan dan kenegaraan
Indonesia pun goyah dan bahkan runtuh oleh
mengguritanya praktik korupsi. Gurita korupsi ini
membesar dan meluas karena modus operandinya sangat
licin dan berubah-ubah. Karena itu, perang melawan
korupsi, meskipun didengungkan di sana-sini, tidak
serta merta dapat menghentikan praktik culas itu.


Perang melawan korupsi dimunculkan, namun strategi
untuk melakukan korupsi model baru diciptakan oleh
oknum pejabat publik. Hasilnya, perang melawannya
bergerak seiring dengan munculnya praktik korupsi
model baru. Inilah yang dalam perspektif hukum
positif kemudian menjadikan praktik korupsi sebagai
kejahatan luar biasa (extraordinary crime).

Rekam jejak korupsi tidak bisa dihapus dan dibakar
oleh mekanisme spiritual seperti puasa Ramadan.
Mengapa begitu? Karena, korupsi tidak saja melanggar
ketentuan dan hak-hak ilahi (huquq Allah) menyangkut
prinsip kejujuran dan integritas pribadi. Namun,
juga menerabas ketentuan publik dan hak-hak
kemanusiaan (huququl adami). Karena itu, praktik
culas korupsi tidak saja berdimensi dosa tapi juga
kejahatan.

Dalam kaitan ini, sungguh naif kalau upaya dan
teriakan untuk menegakkan aturan atas jabatan publik
dianggap sebagai mengumbar dosa seseorang ke publik.
Penolakan Ketua MA, Bagir Manan, untuk
menginformasikan sanksi atas hakim-hakim nakal
dengan alasan dosa ngomongin kesalahan orang
(seperti yang dilansir sebuah media cetak nasional
26/08/2007) adalah sebuah kepandiran spiritual dan
sekaligus politik.


Dalam urusan penyelenggaraan jabatan publik,
kesalahan dan penyalahgunaan kewenangan bukan
menjadi wilayah pribadi. Tapi, sudah menjadi wilayah
publik. Dan, karena itu, salah besar penyalahgunaan
kewenangan jabatan publik disamakan dengan privasi
yang tidak boleh diketahui publik. Pun, sungguh
sebuah kepandiran yang telanjang bulat jika teriakan
atas penegakan aturan dan sanksi hukum atas praktik
penyalahgunaan kewenangan (baca: korupsi) dinilai
dosa karena dianggap membicarakan kesalahan orang.

Paradoks Keberagamaan
------------ --------- -----
Ramadan tiap tahun kita alami, tetapi tidak
memberikan efek yang kuat bagi penciptaan kehidupan
publik kita. Buktinya, kecenderungan praktik
keagamaan dan praktik publik kita masyarakat
Indonesia memunculkan paradoks yang besar. Tiap kali
datang Ramadan, tiap kali pula diikuti dengan
peningkatan amal spiritual. Bahkan, ekspresi
spiritualitas itu tampak lebih tinggi dibanding pada
bulan-bulan yang lain. Tapi toh ironis sekali,
praktik penyelenggaraan jabatan publik kita masih
berputar-putar pada kepentingan yang koruptif.
Identitas simbolik keislaman kita juga makin menguat
dalam manifestasi Islam publik. Lihat saja,
menguatnya kecenderungan orang untuk mengenakan
jilbab bisa kita temui hampir di setiap sudut
kehidupan. Konsumsi orang terhadap produk-produk
yang menjual simbol-simbol Islam semakin laku di
pasaran.


Sementara itu, praktik korupsi masih saja menempati
rangking pertama dalam skala kejahatan besar dalam
penyelenggaraan jabatan publik kita.
Jangan pernah beranggapan bahwa kita akan terlepas
dari kesalahan dan dosa jika uang yang kita peroleh
dari hasil culas, semisal korupsi, kita gunakan
untuk beribadah. Sesuai dengan esensi Ramadan
seperti dijelaskan di atas, berpuasa dengan uang
hasil korupsi tidak bisa menghapus rekam jejak
sosial kita yang negatif. Pun, sebagai contoh lain,
berhaji dengan uang hasil korupsi tidak akan merubah
apa-apa atas rekam jejak sosial kita yang buram.


Ramadan tidak diciptakan untuk memiliki kapasitas
membakar rekam jejak sosial kita yang buruk. Ramadan
hanya menyediakan fasilitas untuk membakar rekam
jejak spiritual kita dalam kaitannya dengan Tuhan.
Sesuai dengan penjelasan profetik tentang
penghapusan kesalahan dan dosa yang terkait dengan
haqqul adami, mekanisme yang harus dilakukan untuk
menghapus buramnya rekam jejak sosial korupsi itu
adalah melalui pertobatan sosial, yang bentuknya
sudah barang tentu mengikuti ketentuan publik yang
diselenggarakan oleh negara.


Sungguh menawan untuk direnungkan pernyataan Anwar
Ibrahim, tokoh Muslim Malaysia (Tempo, 27 Agustus -
02 September 2007): Bagaimana kita menyebut Islam
jika korupsi merajalela.Semangat Islam telah
dikotori oleh praktik culas korupsi oleh pemeluknya.
Dan, Ramadan tidak memiliki kapasitas untuk bisa
membakar rekam jejak korupsi.


Oleh: Akh. Muzakki
Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya,
Kandidat PhD di University of Queensland, Australia