Siang hari, suasana pelabuhan Tanjung Priok ini sungguh sangat menyengat. Panas dan gersang sudah merupakan cuaca yang akrab ditemui di sini. Dengan langkah malas aku menuju ke warung nasi terdekat untuk mengisi perut ini. Terlihat di sekitarku kegiatan bongkar muat di pelabuhan.
Kontainer yang naik dan turun dari kapal laut, para pekerja yang sibuk mengangkut barang yang akan dikirimkan, dan para mandor yang sibuk berteriak mengatur para pekerjanya. Truk besar kecil, truk kontainer, forklift dan kendaraan lainnya yang tak hentinya berlalu lalang. Kegiatan di sini tak pernah ada kata diam.
Selesai makan, aku langsung menuju kantorku. "Lebih baik aku di kantor yang sejuk daripada di luar yang sudah pasti panas dan membuat berkeringat ini." Ah, sejenak kulihat pekerja-pekerja yang tanpa komando berjalan teratur menuju sebuah kontainer. Rupanya ada perusahaan yang
sedang melakukan bongkar muat gula pasir. "Pasti ini impor deh, dan yang sudah pasti ketahuan ruginya dalah para petani gula lokal kita," batin ini menyelisik.
Angkat karung, turunkan, angkat lagi, turunkan. Kuperhatikan dari jauh apa yang dilakukan pekerja itu. Tunggu dulu, aku lihat seraut wajah bapak tua yang masih menjadi pekerja. Dari garis mukanya kutaksir dia sudah tidak pantas untuk bekerja sekeras ini. Duh, hati ini sepert teriris. Esok lusa aku sempat berpapasan dengan bapak tua itu yang sedang menikmati sarapannya di sebuah gudang tua. Dari perawakannya dia masih tampak bugar walaupun guratan-guratan ketuaan sudah jelas tampak di sana sini. Segera kusapa dia, "Sedang sarapan, Pak?" tanyaku.
"Ya, Dik. Buat isi perut. Adik yang kerja di kantor itu?" dengan logat sunda kulon kental dia balas bertanya sambil menunjuk ke arah kantorku.
"Ya, Pak. Bapak sudah lama kerja di sini?" aku mulai mencari tahu.
"Yah, begitulah. Bapak sudah puluhan tahun di sini. Maklum, pendidikan minim, daripada menganggur. Saya harus menghidupi keluarga," jawab si Bapak dengan raut sedikit muram.
Sambil membungkus sisa nasi yang tadi dimakan, lalu diselipkan di sela dinding ruangan tempat dia istirahat. Di tempat itu banyak juga pekerja lain yang istirahat di sini.
"Nasinya buat nanti siang lagi, lumayan buat ngirit," jelas si Bapak tanpa menunggu aku bertanya.
"Saya mengerti, Pak. Semoga Allah memberikan barakah atas setiap rezeki yang Bapak peroleh," aku menjawab dengan senyum getir dan juga sayatan pilu kembali di hati ini. Sungguh aku terhenyak melihat enyataan di hadapanku ini.
Si Bapak juga menjelaskan bahwa ia dibayar perkarung yang dia angkat sebesar seratus rupiah. Ya Allah, berapa karung yang harus ia angkat supaya bisa mencukupi kebutuhan keluarganya di kampung sana. Aku langsung terdiam dan merasa malu pada diri ini yang kadang tidak puas akan rezeki yang Allah berikan. "Alhamdulilllah, kalo bisa bawa pulang dua ratus ribu buat keluarga di rumah," lanjutnya.
"Makasih, Pak. Nanti kita sambung lagi," sambil tersenyum aku pamit, karena jam kerja sudah dimulai pagi ini.
Dengan langkah gontai aku kembali ke kantor dan meneruskan pekerjaanku sebagai teknisi. Terekam jelas perdebatan beberapa kawan kerjaku beberapa hari yang lalu yang ingin segera menuntut naik gaji. Pembicaraan yang alot yang kulihat rona wajah penuh ambisi tak berujung
di wajah mereka. Sungguh, aku sudah tak bersemangat lagi mengikuti pembicaraan kawan-kawan mengenai hal itu setelah mengobrol dengan si Bapak Tua.
Pesan bapak mertua di rumah juga masih kuingat baik-baik, "Nak, bekerjalah bersungguh-sungguh, jika kau tidak suka atau kurang puas, silahkan keluar. Itu lebih jantan daripada kamu membuat hal yang tidak baik di tempat kerja. Banyak bersyukur karena tidak banyak orang yang bisa bekerja saat ini." Sangat kontras apa yang Allah perlihatkan kepadaku kali ini. Semoga setiap diri ini bisa bersyukur dan istiqomah dalam syukurnya kepada Dzat Yang Maha Pemberi.
"Dan (ingatlah juga), tatkala Allah mengatakan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (QS Ibrahim: 7)
Kiriman dari Evi Monika