Kompas
JIKA bicara soal kondisi lalu lintas dan cara mengemudi di Jakarta, sudah pasti orang langsung mengacungkan jempol terbalik.
Apalagi di jalan-jalan sibuk, seperti di daerah Kota, Thamrin, Blok M, Kuningan, Pasar Minggu, Ciputat, Grogol, Ciledug, dan Cipulir, kemacetan selalu terjadi di jalan-jalan tersebut.
Angka kecelakaan lalu lintas yang dicatat Dirjen Perhubungan Darat menunjukkan, kecelakaan lebih parah setelah adanya reformasi. Pada tahun 1997 tercatat sekitar 34.000 orang menjadi korban kecelakaan, pada tahun 1999 korban kecelakaan sekitar 47.000 orang. Jika pada tahun 1997 korban yang meninggal mencapai 12.500 orang, di tahun 1999-2002 mencapai 10.000-15.000 orang setiap tahunnya. Adapun penyebab kecelakaan, 90 persennya adalah human error. Artinya, penyumbang terbesar kecelakaan adalah kesalahan manusia, bukan kesalahan mekanis atau faktor lainnya.
Jika ditilik lebih jauh lagi, rendahnya disiplin di jalan raya disebabkan ketidaktahuan masyarakat tentang bagaimana cara mengemudi yang baik dan aman. Seseorang yang baru belajar menyetir tidak mendapatkan pelajaran disiplin mendalam walaupun dia belajar di sekolah mengemudi. Ketika dia mengambil surat izin mengemudi di Kepolisian, petugas hanya menguji soal kemampuannya mengemudi dan mental mengemudi yang baik tidak diuji.
Soal ketidaktahuan masyarakat ini, menurut Bintarto Agung, Presiden Direktur Indonesia Defensive Driving Center (IDDC) sangat nyata. Contohnya, banyak pengemudi yang tidak tahu bahwa batas maksimal kecepatan di jalan tol dalam kota adalah 80 km per jam. "Mereka tidak tahu bahwa batas kecepatan di jalan tol dalam kota berbeda dengan jalan tol Jagorawi dan Cikampek. Kalau di Jagorawi dan Cikampek memang diperbolehkan mencapai 100 km per jam," kata instruktur lembaga pelatihan mengemudi yang aman ini.
Bintarto mencontohkan, di Australia setiap akhir minggu terus-menerus ditayangkan iklan layanan masyarakat tentang mengemudi yang aman. Padahal, penduduk Australia sudah mempunyai kesadaran disiplin berlalu lintas yang tinggi. Di Indonesia iklan layanan masyarakat soal ini jarang sekali ditayangkan.
INFRASTRUKTUR memang kurang memadai, penegakan hukum di jalan raya juga tidak serius. Namun, jika setiap pengguna jalan berdisiplin dan waspada, pastilah kemacetan dan kecelakaan bisa dihindari.
Menurut Bintarto, pengemudi yang baik harus selalu memakai 4A, yakni alertness (kewaspadaan), awareness (kesadaran), attitude (tingkah laku), dan anticipation (mengharapkan). "Seorang pengemudi itu harus selalu mengharapkan yang tidak diharapkan. Dengan demikian, dia akan selalu waspada, sadar, dan berhati-hati dalam tingkah laku mengemudinya," kata Bintarto.
Cara mengemudi yang demikian disebut defensive driving, maksudnya perilaku mengemudi yang bisa membantu menghindari masalah lalu lintas. Cara mengemudi ini berbeda dengan safety driving. Defensive driving lebih menitikberatkan pada sikap mental mengemudi, sedangkan safety driving menitikberatkan pada keterampilan mengemudi.
"Contoh yang paling tepat adalah pembalap. Seorang pembalap sangat terampil mengemudi. Namun, belum tentu dia berhati-hati di jalan umum, karena bisa saja dia ngebut di jalan raya. Adapun pengemudi defensive tidak hanya terampil, tetapi juga mempunyai sikap mental positif yang menjauhkannya dari bahaya di jalan raya," papar Bintarto.
Sikap defensive driving antara lain selalu mengecek kendaraan sebelum pergi. "Jika mobil Anda harus bekerja keras, ceklah tekanan ban setiap hari. Tetapi, jika hanya dipakai untuk pergi ke kantor dan tidak berkeliling, ukurlah tekanan ban setiap 4-6 hari. Ukurlah tekanan ban itu ketika ban dalam keadaan dingin. Jadi, Anda harus mempunyai alat pengukur ban di mobil. Kemudian, tambahkan udara sesuai kekurangan ketika ban masih dingin. Jangan ketika dia sudah panas karena mobil sudah dijalankan ke tempat pompa ban," kata Bintarto menjelaskan.
Tekanan ban yang tidak pas ini, kelebihan atau kekurangan, bisa menyebabkan pecah ban. Risiko paling ringan adalah memperpendek umur ban dan mobil berjalan tidak stabil.
Ketika di jalan, ingatlah bahwa berkendara di jalan umum berarti harus berbagi jalan dengan orang lain. Oleh karena itu, bersikaplah yang sopan, menaati peraturan lalu lintas, dan tidak terpancing untuk situasi di jalan. "Misalnya, jangan terpancing orang yang memaksa ingin mendului. Perbedaan waktu antara mengebut dan tidak mengebut tidak sampai lima menit. Dengan ngebut, berarti kita sudah merisikokan diri kita ke dalam situasi berbahaya," kata Bintarto sambil mengingatkan untuk memakai sabuk pengaman.
Jagalah selalu jarak dengan mobil di depan. Caranya, jika kecepatan kita sudah sama dengan mobil di depan, carilah alat bantu statis di pinggir jalan seperti tiang listrik atau pohon. Ketika mobil di depan melewati pohon tersebut, mulailah berhitung seribu satu, seribu dua, seribu tiga, dan seterusnya. Jika ketika mobil kita melewati pohon tersebut hitungannya sudah melebihi seribu tiga, maka kita berada di jarak yang aman.
Jangan mengobrol masalah serius dengan penumpang karena akan memecah konsentrasi mengemudi. Demikian juga dengan pemakaian telepon genggam.
"Walau pengemudi sudah memakai hands-free, dia tetap membahayakan diri, karena menelepon dapat mengganggu konsentrasi di jalan," tegas instruktur di IDDC ini. (ARN)